Bicara masalah Palembang, pasti tidak habis habisnya. Disini saya akan menulis tentang Kasta yang ada di Palembang. Kasta bukan hanya ada di India, Bali akan tetapi di Palembang juga ada susunan kasta. Itu lah mengapa rumah adat Palembang Limas Ruangannya bertingkat tingkat, Karena disitu tempat duduknya para kasta yang ada di Palembang.
Provinsi Sumatera Selatan dahulunya meliputi Jambi, Lampung, Bangka Belitung dan Bengkulu, namun
sejalan dengan otonomi dareah dan pemekaran wilayah maka Jambi, Lampung, Bangka Belitung dan Bengkulu menjadi provinsi sendiri.
Sumatera Selatan sendiri terdiri dari beberapa suku antara lain Suku Ogan, Suku Komering, Suku Ranau, Suku Kisam, Suku Daya, Suku Aji, Suku Musi, Suku Rawas, Suku Beliti, Suku Banyuasin, Suku Kikim, Suku Sekayu, Suku Semendo, Suku Gumai, Pasemah, Suku Lematang dan Suku Palembang.
Sebagaimana suku-suku yang ada di Indonesia, kelompok-kelompok suku di atas juga mempunyai budaya dan adat istiadat yang hampir sama. Dan biasanya terdapat perbedaan yang sifatnya spesifik, misalnya dalam dialek bahasa sehari-hari. Etnis atau Suku-suku yang disebutkan di atas itulah yang selama ini sering dianggap sebagai penduduk asli Sumatera Selatan atau lebih tepatnya sebagai “indegenous peoples” bagi Sumatera Selatan. Selain yang telah disebutkan di atas masih ada juga suku lain seperti Suku Kubu atau Suku Talang Mamak, atau Suku Anak Dalam (SAD) yang wilayah persebaran pemukiman meliputi Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu.
Asal-usul Pemakaian Gelar Palembang
Dari beberapa temuan silsilah serta catatan mengenai sejarah Palembang, maka dapat dilihat bahwa gelar kebangsawan Palembang telah ada sejak masa awal terbentuknya Kerajaan Palembang yang dipakai oleh para Priyai-priyai yang sebagian berasal berasal dari tanah Jawa.
Pada masa awal Kerajaan Palembang, gelar yang dipakai pertama kali adalah Kyai Gede disingkat (Ki Gede). Dalam struktur masyarakat Jawa, gelar Kyai (Ki) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap bijak atau memiliki asal usul keningratan. Sedangkan untuk perempuan gelarnya adalah Nyai (Nyi). Gede/Ageng artinya Besar atau Agung. Jadi sebutan Kyai Gede memiliki arti bahwa beliau merupakan seorang pemimpin masyarakat dan termasuk ke dalam golongan elit bangsawan.
Gelar ini digunakan oleh Ki Gede Ing Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan beserta saudaranya Ki Gede Ing Ilir. Mereka inilah peletak dasar pertama sistem kerajaan Islam Palembang. Sepeninggalnya Ki Gede Ing Suro, tahta kerajaan jatuh kepada keponakannya yang bernama Kemas Anom Dipati Jamaluddin bin Ki Gede Ing Ilir. Pemberian nama Kemas/Ki Mas/Kyai Mas di mulai pada masa ini. Mas berarti Yang Mulia. Seluruh putra-putri Kemas Anom Dipati Jamaluddin diberi nama sesuai dengan nama orang tuanya. Namun ketika Kemas Anom Dipati Jamaluddin naik tahta ia masih diberi gelar mengikuti gelar pamannya yaitu Ki Gede Ing Suro (Mudo) untuk menghormati pamannya tersebut. Inilah masa terakhir digunakannya gelar Ki Gede sebagai gelar pembesar kerajaan.
Kemudian setelah itu Ki Gede Ing Suro (Mudo) atau Kemas Anom Dipati Jamaluddin mewariskan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Kemas Dipati. Namun gelar Kemas untuk penguasa kerajaan Palembang ini pun tidak bertahan terlalu lama. Ketika Palembang mulai berada dibawah kekuasaan Kesultanan Mataram, gelar yang digunakan oleh pewaris tahta kerajaan adalah gelar Pangeran. Gelar Pangeran berarti yang memerintah. Gelar ini diberikan kepada anak laki-laki dari Raja. Tetapi gelar ini tidak otomatis, artinya gelar hanya diberikan atas perkenan Raja. Oleh karena itu gelar ini sering juga diberikan raja kepada orang yang dikehendakinya. Sementara putra-putra raja yang lain masih tetap diberikan gelar Kemas.
Perlu menjadi catatan, bahwa pada masa itu tradisi pemakaian gelar berdasarkan sistem “Bilateral” yaitu sistem kekerabatan yang memakai salah satu dari dua garis keturunan dari Bapak/Ibu (garis Laki-laki/Wanita) tradisi dan Budaya Jawa.
Perubahan gelar penguasa dan keturunan palembang mulai terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) bin Tumenggung Manco Negaro. Sebagai keturunan dari penguasa Jawa, yaitu Prabu Satmata Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden Paku) ia mulai menggunakan pemberian gelar Raden dan Raden Ayu kepada sebagian putra-putrinya. Apalagi ditunjang pernikahannya dengan keturunan Panembahan Kalinyamat yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Kesultanan Mataram. Meskipun begitu, sebagian putra-putrinya yang lain masih diberikan gelar Kemas maupun Masayu.
Puncaknya perubahan gelar dan struktur kerajaan Palembang terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim (Kemas Hindi). Karena merasa bahwa dukungan dari Kesultanan Mataram sudah mulai berkurang dalam menghadapi serbuan kerajaan lain, maka beliau mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari kekuasaan Kesultanan Mataram serta memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan. Lalu kepada anak-anaknya beliau memberikan gelar Raden dan Raden Ayu. Sedangkan untuk Putra Mahkota gelar yang Tertinggi adalah Pangeran Ratu (Biasanya anak laki-laki tertua dari Sultan). Namun demikian pernah terjadi Sultan memberi gelar anak laki-lakinya yang tertua dengan gelar Pangeran Adipati atau Prabu Anom . Gelar Pangeran Adipati dipakai oleh anak tertua dari Sultan Abdurrahman yang tidak sempat menjadi raja, dan kedudukannya digantikan oleh adiknya Pangeran Aria (Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago) dan pada tahun 1821-1825 pemberian dan pemakaian gelar Prabu Anom dilakukan Oleh Sultan Ahmad Najamuddin II (Husin Dhiauddin). Hal ini dilakukan karena anak laki-laki dari saudaranya yang tertua (anak Sultan Mahmud Badaruddin II) yang masih hidup telah memakai gelar Pangeran Ratu. Gelar Prabu adalah gelar yang diberikan kepada anak laki-laki Sultan ketika sultan sedang berkuasa.
Mengenai pemakaian gelar Ratu, gelar ini biasanya diberikan kepada Putri Raja yang naik tahta atau Permaisuri (Istri raja) yang disebut dengan Panggilan Ratu Agung atau Ratu Sepuh. Selain itu gelar ini juga diberikan kepada keempat isteri pendamping, karena pada umumnya raja memiliki istri lebih dari satu tetapi bukan selir.Selain Ratu Sepuh ratu-ratu yang lain diberi gelar tambahan/memiliki panggilan tersendiri seperti Ratu Gading, Ratu Mas. Ratu Sepuh Asma, Ratu Ulu, Ratu Ilir, dsb).
Gelar di Palembang
Khusus Postingan ini, Saya membahas sedikit tentang Suku Palembang (“Wong Kito” Palembang ). Suku Palembang merupakan sisa-sisa kerabat bangsawan Kesultanan Palembang, di mana kerajaan ini telah lama dihapuskan oleh kolonialis Belanda. Raja yang terkenal karena kegigihannya berperang melawan Belanda adalah Sultan Mahmud Badaruddin II.
Yang namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara (Airport) Palembang yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II. Bandar Udara di Palembang ini sebelumnya bernama Talang Betutu yang diambil dari nama lokasi keberadaan Bandar Udara tersebut.Kalau Anda pernah mendengar gelar-gelar kasta di Bali: Anak Agung, I Gusti, I Made, I Gde Putu, I Ketut, dll.
Maka untuk suku Palembang juga menganut gelar kebangsawanan/kasta semacam itu.Jika Anda pernah menemui nama orang Palembang didepan namanya ada kata-kata singkatan seperti Mgs itu merupakan singkatan dari Masagus.Pemakaian gelar di depan nama orang seperti; Raden (R), Kemas (Kms), Kiagus (Kgs), Masagus (Mgs, Nyimas (Nys), Masayu (Msy) adalah tanda yang paling mudah untuk mengidentifikasi bahwa orang tersebut merupakan suku Palembang.Di dalam kekerabatan Kesultanan Palembang itu, ada hierarki atau kasta yang membedakan pemakaian gelar kebangsawan itu. Adapun urutannya dari yang paling tinggi ke yang paling rendah adalah sebagai berikut:
1. Raden (R),untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuannya diberi gelar Raden Ayu (RA). Misalnya R. M. Syafwan Hadi, RA. Nurkhairani, dst.
2. Masagus (Mgs), untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuannya diberi gelar Masayu (Msy). Misalnya Mgs. Usman Said, Msy. Latifah.
3. Kemas (Kms) untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuannya diberi gelar Nyimas (Nys). Misalnya Kemas Ahmad Taufik, Nys. Hamidah Hamidaly.
4. Kiagus (Kgs) untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuannya diberi gelar Nyayu (Nyayu). Misalnya Kgs. Umaruddin, Nyayu Nurlelal.
Ada perbedaan gelar yang digunakan oleh Taufik Kiemas (suami mantan presiden Megawati Soekarno putri), Kiemas tersebut bukan termasuk dalam kelompok gelar kebangsawanan Palembang di atas.
Setahuku Kiemas itu merupakan nama farm dari keluarga Bpk. Taufik Kiemas karena beliau bukan dari suku Palembang.Untuk anak laki-laki, gelar kebangsawanannya akan terus ia sandang sampai turun temurun kepada anak cucu cicit dst.
Sedangkan bagi anak perempuan, maka gelar kebangsawanannya itu hanya sampai pada dirinya saja. Bila ia menikah dengan laki-laki bergelar Mgs, otomatis semua anak laki-lakinya akan menyandang gelar Mgs, sedang anak perempuannya akan bergelar Msy.Sedangkan bila ia menikah dengan laki-laki di luar silsilah kebangsawanan tersebut, maka secara otomatis anak dan cucunya akan kehilangan gelar bangsawan tersebut. Apakah tradisi tersebut masih dipegang di jaman sekarang ini. Kalo sekarang, kayaknya biasa-biasa aja deh! Bagi keluarga yang akan mempertahankan tradisi ini, maka budaya ini masih diteruskan. Positifnya memang mudah menelusuri silsilah keluarga, negativenya ya….ada unsur pengkastaan, padahal dijaman sekarang tidak ada pengaruh apapun terhadap status social masyarakat yang bergelar tersebut.
Zaman sekarang sudah jarang yang menggunakan gelar pada awalan namanya alias di KTP tidak ada nama gelar . Itu dikarenakan pada saat ini, gelar tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan sehari-hari dan ada juga yang menganggap gelar itu jadul dan juga ada orang tua yang tidak ingin menambahkan nama gelar tersebut karena alasan kepraktisan. Yah itu toh terserah pribadi masing-masing menurut saya.
Semoga pengetahuan ini berguna bagi semua nya. Semoga tidak ada yang salah kaprah tentang gelar-gelar di Palembang dan tidak membuat gelar ini sesuatu yang terlalu sakral atau diremehkan. Toh ini bukan zaman kerajaan lagi. Tapi tetap hargai lingkungan sekitar saudara-saudara.
0 komentar