6 Nov 2013

Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya berasal dari dua kata, yakni Sri dan Wijaya. Sri dalam bahasa sansakerta artinya “bercahaya” atau “gemilang” dan Wijaya artinya “kemenangan” atau “kejayaan”. Jika kedua kata ini digabungkan, maka bisa diartikan sebagai kemenangan yang gilang gemilang atau kemenangan yang luar biasa. Keberadaan kerajaan Sriwijaya ini tercatat oleh seorang pendeta Tiongkok yang bernama I Tsing. Pendeta ini mengunjungi Sriwijaya pada abad ke-7 dan menulis apa saja tentang Sriwijaya.
Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang berkuasa pada tahun 671 hingga 702 masehi. Berdasarkan prasasti sebagai bukti sejarah, raja Jayanasa mendirikan kerajaan Sriwijaya setelah melakukan penakhlukan ke daerah Jambi, Palembang, Lampung, Bangka dan Jawa.


Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar yang terletak di pulau Sumatera tepatnya Sumatera Selatan (Sumsel) dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.



Pada awalnya Sriwijaya hanya kerajaan kecil. Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan besar setelah dipimpin oleh Dapunta Hyang. Dapunta Hyang berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.




Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit (683 m), Talang Tuwo (684 m), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286). Sementara itu, prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (775), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030 M), Canton (1075 M), Grahi (1183 M) dan Chaiya (1230). Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai- tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.




Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).




Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.



Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).

Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.Isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut:


(1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu mudita datam marwuat wanua … (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa …
Diterjemahkan oleh  G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […] Sriwijaya, sakti, kaya […].

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang belajar agama Buddha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya


KEHIDUPAN EKONOMI



Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapalkapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Faktor- yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar adalah sebagai berikut.

Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.
Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India melalui Asia Tenggara.
Runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.
Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.


KEHIDUPAN KEAGAMAAN



Dalam bidang agama, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah aliran Mahayana dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti.



RUNTUHNYA KERAJAAN SRIWIJAYA



Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.
Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).

Letak posisi Kerajaan Sriwijaya


Sejarah adalah suatu peristiwa di masa lampau yang dipelajari dari bukti berupa benda yang memuat informasi tertentu. Dalam hal kerajaan Sriwijaya ini, jarak waktu yang terlalu jauh menjadikan banyak perdebatan mengenai sejarah kerajaan sriwijaya ini, termasuk diantaranya adalah letak pasti kerajaan yang berkembang di abad ke-7 masehi ini. Pendapat ini memiliki dukungan bukti tertentu yang membuat semakin sulit mengetahui letak kerajaan Sriwijaya secara pasti. Pendapat yang pertama datang dari Pirre-Yves Manguin yang melakukan penelitian pada tahun 1993, dimana ia berpendapat bahwa kerajaan Sriwijaya terletak di daerah sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokiking yang saat ini masuk dalam wilayah provinsis Sumatera Selatan.



Pendapat lain adalah dari ahli sejarah Soekmono yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di hilir sungai Batanghari, yakni antara Muara Sabak hingga Muara Tembesi yang berada di provinsi Jambi. Ada lagi pendapat lain yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di sekitar candi Muara Takus yang masuk dalam provinsi Riau yang dikemukakan oleh Moens. Dasar dari pendapat ini adalah petunjuk rute perjalanan I Tsing dan ide mengenai persembahan untuk kaisar China pada tahun 1003, yakni berupa candi. Namun hingga kini belum ada kesepakatan dan bukti yang sangat kuat dimana pusat kerajaan Sriwijaya sebenarnya berada.



Peninggalan kerajaan Sriwijaya



Peninggalan kerajaan Sriwijaya ada dua macam, yakni secara fisik yang berupa benda yang membuktikan kerajaan ini pernah ada di masa lalu dan peninggilan sosio-kultural yang hingga saat ini masih dianut oleh bangsa kita. Peninggalan fisik ini berupa candi, prasasti dan benda-benda lain seperti keramik dan gerabah yang ada di berbagai daerah di wilayah Asia Tenggara. Prasasti kerajaan Sriwijaya antara lain:

Prasasti Kota Kapur di Bangka
Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1918
Prasasti Karang Berahi ditemukan pada tahun 1904
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada tahun 1920
Prasasti Talang Tuo ditemukan pada tahun 1920
Prasasti Boom Baru


Prasasti Kota Kapur  Prasasti Telaga Batu  Prasasti Karang Berahi  Prasasti Kedukan Bukit  Prasasti Talang Tuo                                   prsasati-boom-baru


Prasasti Talang Tuwo

Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta.

Teks Prasasti Talang Tuwo:


(1) swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna tathapi haur wuluh pattum ityewamadi punarapi yam parlak wukan (4) dnan tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana sarwwasatwa sakaracara waro payana tmu (5) sukha di asannakala di antara margga lai tmu muah ya ahara dnan air niminumna sawanakna wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana tathapi sawanakna yam bhrtyana (8) satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya yam mitrana tuwi janan ya kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya waram stha….

Terjemahan oleh G. Coedes:

Kemakmuran! Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan Çaitra: pada saat itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan ….


Inti isi dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa.

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi.

Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.

Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Teks Prasasti Telaga Batu


(1) om siddham titam hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka (4) …. murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna, vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha, sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah dari mammam kamu kadaci kamu tida bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun luwi yam marwuddhi.

Terjemahan oleh G. Coedes:

Om! Semoga berhasil…. Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja…, bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin… (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana…,…(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin,…(?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?)…


Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar

Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.

Teks Prasati Kota Kapur:


siddha titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki unai tunai kita sawanakta de wata mahar dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan sriwijaya kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan (3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka manujari drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya (4) mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua dhawa wuatna uram inan niwunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya talu muah ya dnan gotrasantanana tathapi sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram makasa kit makagila mantra gada wisaprayoga upuh tuwa tamwal….

Terjemahan oleh G. Coedes:

Keberhasilan! [disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi [kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi [kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak […] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu [atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti] mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja….


Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Prasasti Palas Pasemah

Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Teks Prasasti Palas Pasemah


(1) siddha kitaŋ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haŋkairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteŋ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maŋra [ksa yaŋ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaŋ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraŋ di dalaŋna bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yaŋ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….

Terjemahan oleh Boechari:

(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….


Prasasti Boom Baru

Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.

Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.
Diantara semua prasasti di dalam negeri tersebut, prasasti Kota Kapur adalah prasasti tertua yang bertahun 682 masehi. Prasasti ini menceritakan perjalanan Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu berasama 20.000 pasukan dan 200 peti perbekalan serta 1.213 tentara yang berjalan kaki.



Selain di dalam negeri, Sriwijaya juga meninggalkan jejak di luar negeri. Peninggalan Sriwijaya dapat ditemukan di India berupa kuil Budha. Kerajaan Sriwijaya memiliki peninggalan selain prasasti yakni berupa barang keramik dan tembikar. Salah satu contohnya adalah peninggalan di Jawa Tengah yang masih dapat kita lihat sampai saat ini. Peninggalan ini terjadi pada saat Sriwijaya memindahkan pusat kekuasaan dari Sumatera ke Jawa. Pada masa itu kerajaan diperintah dari wangsa Syailendra yang membangun banyak candi seperti candi Kalasan, candi Sewu dan candi Borobudur.


Dalam hal sosio-kultural, pengaruh kerajaan Sriwijaya saat ini masih menjadi inspirasi budaya, misalnya lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Tarian Sevichai di Thailand selatan juga merupakan inspirasi dari seni budaya Sriwijaya. Yang paling penting dari itu semua adalah penyebaran bahasa melayu yang merupakan akar dari Bahasa Indonesia. Bahaya melayu kuno memang digunakan pada zaman kerajaan Sriwijaya yang dibuktikan dengan prasastinya yang menggunakan bahasa tersebut. Hubungan dagang yang dilakukan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa standar. Bahasa melayu pun menjadi dikenal luas. Itulah kenapa alasan Bahasa Indonesia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa Induk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar