25 Jun 2013

Hukum Menyentuh Mushaf Al Qur'an Saat Berhadats

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad keluarga dan sahabatnya.

Pada kesempatan kali ini, ada suatu pembahasan menarik yang akan kami sajikan mengenai hukum menyentuh mushaf Al Qur’an bagi orang yang berhadats seperti dalam keadaan tidak suci, dalam keadaan junub, dalam keadaan haidh dan nifas. Apakah orang-orang seperti ini diperkenankan untuk menyentuh mushaf? Tentu saja kita harus kembali pada dalil untuk membicarakan hal ini. Semoga Allah memudahkan kami untuk membahasnya.





Pendapat Ulama Madzhab

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah –kitab Ensiklopedia Fiqih- disebutkan,
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)

Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”[1]

Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.[2]
Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh lainnya.[3]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menyentuh mushaf Al Qur’an tidak dibolehkan oleh para ulama madzhab.

Menyentuh Mushaf bagi Orang yang Berhadat Besar dan Kecil

Larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats besar seperti wanita yang sedang haidh, nifas dan orang yang junub. Mengenai larangan menyentuh mushaf bagi yang berhadats besar terdapat riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al Qosim bin Muhammad, Al Hasan Al Bahsri, ‘Atho’, dan Asy Sya’bi. Bahkan sampai-sampai Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (salah satu ulama Zhohiriyah).”[4]

Begitu pula larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci. Inilah mayoritas pendapat pakar fiqih. Bahkan Ibnu Qudamah sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud Azh Zhohiri.”

Al Qurthubi mengatakan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu.
Al Qolyubi, salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan, “Ibnu Sholah menceritakan ada pendapat yang aneh dalam masalah ini yang menyebutkan tidak terlarang menyentuh mushaf sama sekali (meskipun keadaan hadats kecil maupun hadats besar)”[5]

Orang yang berhadats di sini diperbolehkan menyentuh Al Qur’an setelah mereka bersuci, untuk hadats besar dengan mandi wajib sedangkan hadats kecil dengan berwudhu.

Menyentuh Mushaf Al Qur’an dengan Pembatas Ketika Berhadats

Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an dengan pembatas ketika berhadats, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak.
Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak dibeli beserta mushaf seperti sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.[6]

Membawa Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats Tanpa Menyentuh
Misalnya, saja seorang yang dalam keadaan berhadats membawa mushaf Al Qur’an di tasnya, tanpa menyentuhnya secara langsung. Apakah seperti ini dibolehkan?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan. Yaitu dibolehkan bagi yang berhadats (seperti orang yang junub) untuk membawa mushaf tanpa menyentuhnya secara langsung, dengan menggunakan pembatas yang bukan bagian dari Al Qur’an. Karena seperti ini bukanlah disebut menyentuh. Sedangkan larangan yang disebutkan dalam hadits adalah menyentuh mushaf dalam keadaan tidak suci. Sedangkan di sini sama sekali tidak menyentuh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah dan menjadi pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Asy Sya’bi, Al Qosim, Al Hakam dan Hammad.[7]

Yang Dibolehkan Menyentuh Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats

Pertama: Anak kecil.
Ulama Syafi’iyah mengatakan, “Tidak terlarang bagi anak kecil yang sudah tamyiz[8] untuk menyentuh mushaf walaupun dia dalam keadaan hadats besar. Dia dibolehkan untuk menyentuh, membawa dan untuk mempelajarinya. Yaitu tidak wajib melarang anak kecil semacam itu karena ia sangat butuh untuk mempelajari Al Qur’an dan sangat sulit jika terus-terusan diperintahkan untuk bersuci. Namun ia disunnahkan saja untuk bersuci.”[9]

Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an.
Dibolehkan bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis Al Qur’an. Namun hal ini tidak dibolehkan pada orang yang junub. Karena orang yang junub ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untukk berwudhu. Beda  halnya dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.

Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.[10]
Yang lebih tepat, untuk laki-laki yang junub karena ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia bersuci terlebih dulu, setelah itu ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita haidh yang inginn mengkaji Al Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia menyentuh Al Qur’an dengan pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan yang telah lewat. Wallahu a’lam.

Menyentuh Kitab-kitab Tafsir dalam Keadaan Berhadats

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian tafsir, begitu pula jika isinya sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian tafsir, menurut pendapat yang lebih kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka dibolehkan untuk menyentuhnya.[11]
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”[12]

Menyentuh Kitab Fiqh dan Kitab Hadits dalam Keadaan Berhadats

Menyentuh kitab fiqh dibolehkan dalam keadaan berhadats karena kitab tersebut tidaklah disebut mushaf dan umumnya, isinya lebih banyak selain ayat Al Qur’an. Demikian pendapat mayoritas ulama.[13]
Begitu pula dengan kitab hadits diperbolehkan untuk menyentuhnya walaupun dalam keadaan berhadats. Demikian pendapat mayoritas ulama.[14]
Intinya, jika suatu kitab atau buku tidak disebut mushaf dan isinya lebih banyak tulisan selain ayat Al Qur’an, maka tidak mengapa orang yang berhadats menyentuhnya.

Menyentuh Al Qur’an Terjemahan dalam Keadaan Berhadats
Jika yang disentuh adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab atau buku seperti ini disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti ini karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir.[15] Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats sebagaimana keterangan yang telah lewat.

Menyentuh Sampul Mushaf dan Bagian Lainnya
Mayoritas ulama menyatakan bahwa termasuk yang terlarang ketika berhadats di sini adalah menyentuh sampul mushaf yang bersambung langsung dengan mushaf, halaman pinggirannya yang tidak ada tulisan ayat di sana, celah-celah ayat yang tidak terdapat tulisan dan bagian lainnya dari mushaf secara keseluruhan. Karena bagian-bagian tadi semuanya termasuk mushaf dan ikut serta ketika dibeli, sehingga dikenai hukum yang sama.[16]
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan tidak terlarang menyentuh sampul mushaf ketika hadats lebih dekat pada qiyas (analogi). Sedangkan pendapat yang menyatakan terlarang, alasannya adalah untuk mengagungkan mushaf Al Qur’an. Pendapat yang menyatakan terlarang, itulah yang lebih tepat.”[17]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/5916, Asy Syamilah. Periksa pada index “hadats”, 
      point 26.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13965. Periksa pada index “Mushaf”, point 5.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13964. Periksa pada index “Mushaf”, point 2.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13965. Periksa pada index “Mushaf”, point 4.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/5697. Periksa pada index “Haa-il”, point 7.
[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13966. Periksa pada index “Mushaf”, point 7.
[8] Yang dimaksud tamyiz adalah sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang manfaat 
       dan manakah yang bahaya.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13967. Periksa pada index “Mushaf, point 8”.
[10] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13968. Periksa pada index “Mushaf”, point 9.
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13851. Periksa pada index “Massu”, point 7.
[12] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, 2/69, Mawqi’ Ya’sub.
[13] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13851. Periksa pada index “Massu”, point 8.
[14] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13851. Periksa pada index “Massu”, point 9.
[15] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13968. Periksa pada index “Mushaf”, point 11.
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13965,  index “Mushaf”, point 6 dan 2/5405, index “Jald”, point 6.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,2/5405, index “Jald”, point 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar