25 Jun 2013

Ber" Tatto " dalam Islam

Manusia, biasanya membuat tato dengan berbagai alasan, seperti: keindahan (seni), atau supaya terlihat jantan dan gahar.


Syariat telah mengharamkan tato karena tiga alasan:


Pertama, merubah ciptaan Allah Ta’ala secara permanen. Tubuh yang tadinya mulus diubahnya menjadi bercorak dan bergambar secara tetap. Allah Ta’ala dan RasulNya mengecam hal ini.

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An Nisa (4): 119)

Memperindah diri dengan cara merubah ciptaan Allah Ta’ala –termasuk tato- secara khusus telah dilaknat oleh Allah Ta’ala. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى

“Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.”1

Kedua, membuat tato bisanya dengan cara yang menyakitkan yaitu dengan melukai tubuh dengan jarum dan membentuk gambar yang diinginkan dengan jarum itu.

Hal ini terlarang, karena Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al Baqarah (2): 195)

Juga disebutkan dalam hadits:

عنْ أَبي سَعيدٍ سَعدِ بنِ مَالِك بنِ سِنَانٍ الخُدريِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهٍِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ)

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan merusak (mencelakakan) orang lain dan diri sendiri.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)2

Maka, membuat tato termasuk aktifitas melukai diri sendiri secara sengaja yang terlarang.

Ketiga, nash-nash yang ada menyebutkan dengan kata “La’anallah (Allah melaknat)” untuk orang yang membuatkan tato dan yang dibuatkan tato, artinya adalah haram dan berdosa

Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnu Baththal memberikan syarah (penjelasan) terhadap hadits “Allah melaknat pembuat tato dan orang yang dibuatkan tato”:

لأنهما تعاونا على تغيير خلق الله ، وفيه دليل أن من أعان على معصية ، فهو شريك فى الأثم

“Karena keduanya saling tolong menolong dalam merubah ciptaan Allah, dan hadits ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang menolong perbuatan maksiat, maka dia ikut serta dalam dosanya.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 9/174. Maktabah Ar Rusyd)

Wajib Menghilangkan Jika Tidak Membahayakan

Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato, tetapi kesulitan karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al Khathib Asy Syarbini mengatakan:

وتجب إزالته مالم يخف ضرراً يبيح التيمم، فإن خاف ذلك لم تجب إزالته ولا إثم عليه بعد التوبة

“Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakutkan adanya bahaya pada dirinya, dan dibolehkan baginya tayammum, jika dia takutkan hal itu (yakni bahaya menghilangkan tato, pen), maka tidak wajib menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah tobatnya.” (Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul Bari, 10/372)

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan dalam fatwanya:

فإنه يلزمه إزالته بعد علمه بالتحريم ، لكن إذا كان في إزالته مشقة أو مضرة فإنه يكفيه التوبة والاستغفار ، ولا يضره بقاؤه في جسمه 

“Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia mengetahui keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami kesulitan atau mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan istighfar, dan tidak mengapa sisa tato yang ada pada tubuhnya.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218)

Maka, wajib baginya menghilangkan tatonya itu, sebaiknya dihilangkan secara cicil saja jikalau memang dia takut merusak dan membuat luka yang banyak pada tubuhnya. Tetapi, jika itu juga sulit, maka hendaknya dia bertobat (menyesal, membenci, dan tidak mengulangi lagi), serta banyak-banyak mohon ampun kepada Allah Ta’ala.

Menurut pendapat yang benar, tato tidaklah menghalangi wudhu atau mandi janabah, sebab tato tidak melapisi kulit, dia bukan cat dan bukan cutek yang melapisi dan menutupi kulit, melainkan meresap ke dalamnya. Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran untuk wudhu dan shalat, bagi orang yang memiliki tato dan sulit dihilangkan itu. 

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyiina Muhamadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain. Wallahu A’lam

---------------------------------------------------------------------------------

1. HR. Bukhari No. 4604, 5587, Muslim No. 2125, Ibnu Hibban No. 5504, Ad Darimi No. 2647, Abu Ya’la No. 5141
2. Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2340, dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit, dan No. 2341, dari Ibnu Abbas

- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra dari beberap jalan: dari Abu Sa’id Al Khudri, No. 11166, dari Amru bin Yahya, dari ayahnya, No. 11167, 11658, 20231, kata Imam Al Baihaqi: diriwayatkan secara mursal, tetapi kami meriwayatkan dalam Ash Shulhu secara maushuul (bersambung sanadnya). Dari ‘Ubadah in Ash Shaamit No. 11657, 20230. Lihat juga As Sunan Ash Shaghir No. 1630, dari Amru bin Yahya dari ayahnya secara mursal.


- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 2865, dari Ibnu Abbas


- Imam Ath Thabarani meriwayatkannya dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 1387, dari Tsa’labah bin Malik, juga No. 11576, 11806, dari Ibnu Abbas. Juga dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 268, 1033, dari ‘Aisyah, juga No. 3777, dari Ibnu Abbas, juga No. 5193, dari Jabir bin Abdullah


- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 3/77, dari Abu Sa’id Al Khudri, juga 4/277, dari ‘Aisyah

- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1300, dari Tsa’labah bin Malik
- Imam Malik dalam Al Muwaththa’ riwayat Yahya Al Laitsi No. 1429
- Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya yang disusun oleh As Sindi No. 575

Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad berkata:


رواه مالك مرسلا ورواه أحمد وابن ماجة وغيرهما بسند فيه جابر الجعفي وهو ضعيف وأخرجه ابن أبي شيبة والدارقطني بسند آخر وله طرق فهو حسن


Diriwayatkan oleh Malik secara mursal, Ibnu Majah, dan selainnya, dengan sanad yang di dalamnya terdapat Jabir Al Ju’fi dan dia seorang yang lemah. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ad Daruquthni dengan sanad yang lain dan memiliki banyak jalan, maka hadits ini hasan. (Asnal Mathalib, Hal. 324. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)


Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata:


حسن، جابر- وهو ابن يزيد الجعفي، وإن كان ضعيفاً- قد توبع، وباقي رجاله ثقات رجال الصحيح


Hasan, Jabir –dia adalah Ibnu Zaid Al Ju’fi- kalau pun dia lemah telah ada yang menguatkannya, dan para perawi lainnya semuanya adalah periwayat hadits shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 2865)


Sementara Syaikh Al Albani Rahimahullah menshahihkannya di berbagai kitabnya, seperti Irwa’ul Ghalil, As Silsilah Ash Shahihah, Ghayatul Maram,Takhrij Musykilat Al Faqr, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar