Rangkaian kata Idul-Adha yang terdiri dari dua kata itu berasal dari bahasa Arab. Kata pertama Idul berasal dari kata "'aada-ya'uudu-awdatan wa 'iidan" yang berarti kembali. Sedangkan Adha adalah kata kerja yaitu "Adha-Yudhii-udhiyatan" yang berarti berkorban. Dengan demikian, idul adha adalah suatu perayaan yang dilakukan oleh ummat sebagai tekad untuk kembali kepada semangat pengorbanan.
Defenisi ini tentu sangat sederhana. Namun saya yakin, jika kita kaji lebih jauh makna filosofis yang ada padanya, akan kita dapati betapa hal ini sangat mendasar dalam kehidupan kita. Dikatakan bahwa kehidupan ini adalah jihad atau perjuangan (al hayaatu jihaadun), sedangkan setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Dengan demikian, sifat berkorban adalah sifat keharusan bagi setiap insan. Sehingga kesadaran untuk kembali kepada sifat ini merupakan suatu keharusan pula.
Dalam konteks waktu pelaksanaannya, yaitu pada hari pelemparan Jumrah Aqabah dilakukan oleh jama'ah haji, juga menunjukan bahwa salah satu bentuk pengorbanan yang paling mendesak adalah pengrobanan dalam melakukan perlawanan tanpa akhir dengan musuh-musuh kita. Sehingga perayaan idul adha juga berarti suatu kesadaran sejati untuk melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh manusia dalam kehidupan ini.
Kali ini, saya tidak akan menguraikan makna idul adha dari kata "adha" ini sendiri, melainkan saya akan bertolak dari kata "Korban" yang lebih dikenal di kalangan Muslim Indonesia. Korban dalam bahasa Indonesia sesungguhnya juga berasal dari kata Arab "Qurbaan" yang asalnya adalah "Qaruba-yaqrabu-qurbun wa qurbaan" (kedekatan yang sangat).
Kata "qurbaan" adalah bentuk tafdhiil yang menunjukkan penguatan terhadap sifat yang dikandung kata tersebut. Dengan demikian, kurbaan atau korban adalah wujud kedekatan yang sangat tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan simbol penyembelihan hewan seorang hamba diharapkan semakin dekat (qariib) dengan Rabnya. Penyerahan pengorbanan dan tersimbahnya darah dari hewan adalah simbol penyerahan hidup seorang hamba kepada Rabbul 'aalamin sekaligus pembuktian dari ikrarnya: "Qul inna shalaati wa nusukii wamahyaaya mamaati lillahi Rabbil 'aalamiin" (sungguh shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah milik Allah, Tuhan seluruh alam).
Melaksanakan korban adalah bentuk ritual yang sedemikian suci dan tinggi yang menggambarkan kedekatan seorang hamba terhadap Sang Khaliq. Seolah dengan segala keredhaan, dipersembahkan yang tercinta (kasus Ibrahim dengan anaknya) dalam rangka meraih keredhaan Ilahi. Sehingga pada akhirnya akan terpatri suatu hubungan yang dibangun di atas landasan "Radhiyatun Mardhiyaatun" yaitu seorang hamba yang memiliki jiwa yang redha lagi diridhai oleh Allah SWT" Tingkatan kejiwaan seperti ini adalah puncak kejiwaan insan muttaqiin, sebagaimana disebutkan dalam tingkatan-tingkatan tangga riyadhah nafsiyah (latihan kejiwaan) dalam dunia tasawuf.
Penjelasan kejiwaan seperti ini sendiri sejalan dengan makna lain yang dikandung oleh kata "Adha" atau "Dhuha". Dalam bahasa Arab, selain berarti pengorbanan, kata dhuha juga berarti suatu waktu di mana mentari sedang menapaki jenjang awal dalam terbitnya. Maka dikenallah misalnya waktu dhuha dengan shalat sunnah dhuhanya. Waktu ini secara khusus dinamakan dhuha, karena pada masa ini merupakan awal mentari pagi menapaki jenjang-jenjang kebarangkatannya menuju ufuk.
Artinya, Pengorbanan yang dilakukan seorang Mu'min sesungguhnya juga merupakan mentari jiwa dalam menapaki kehidupannya menuju alam kehidupan sejatinya. Diharapkan dengan motivasi pengorbanan, jiwa semakin bersih, suci (muzakkah) sehingga dapat berpaut dengan nuur cahaya Ilahi. Dengan jiwa bersih dan suci ini (qalbun saliim) seorang Muslim manapaki sisa-sisa perjalanannya menuju Khaliqnya. Hanya jiwa seperti ini yang dapat membawa manfaat di hari segala sesuatunya akan sia-sia dan bahkan menjadi penyesalan (yawma laa yanfa'u maalun wa laa banuun, illa man atallaha biqalbin saliim).
Namun, akankah serpihan sinar tersebut bersembunyi di balik nurani-nurani manusia? Akankah ia ragu menampakkan diri kepada mereka-mereka yang di sekeliling kita? Masihkah pantulan sinar itu terhijab oleh ego manusia itu sendiri?
Bagi Muslim sejati, jawabnya adalah tidak. Seorang Muslim sejati, sebagaimana ia dituntut untuk terus membesarkan sinar qalbunya, juga dituntut agar sinar qalbunya mampu terrefleksi ke alam sekitarnya. Di sinilah ia dituntut dalam pengabdiannya untuk bertakbir (Allahu akbar) membesarkan Ilahi. Namun pada akhirnya jua ia harus menyinari alam sekitarnya dengan sinar kedamaian dan ketentraman (Salaam).
Kesadaran jiwa pengrobanan seperti ini menjadi tuntutan yang begitu mendesak saat ini. Pasca krisis yang terjadi di negara kita telah meninggalkan permasalahan-permasalahan sosial yang cukup parah. Pengangguran, yang nota benenya hampir semuanya adalah Muslim, kini mencapai jumlah 36 juta manusia. Pembantaian sistematis akibat dendam yang tak berkesudahan di berbagai tempat, khususnya di Maluku masih terus berlangsung. Anak-anak remaja yang tercampakkan ke dalam jurang narkoba, prostitusi dan berbagai masalah lainnya, telah mengancam masa depan generasi ummat ini. Semua ini adalah realita-realita kehidupan yang membutuhkan sinar (dhuha) mentari yang terpantul dalam nurani setiap Mu'min. Akankah kita biarkan semua ini berlalu? Akankah kita merayakan pengorbanan ini, sementara tak secercah sinar pengorbanan terbetik dalam jiwa kita? Ingat, "Man lam yahtamma bi amril Muslimiina falaesa Minhum" (sungguh siapa yang tidak memperhatikan masalah ummat Islam, maka bukanlah dari golongan mereka).
Semoga Idul Adha kita kali ini menjadi semangat pengorbanan yang hakiki. Suatu semangat yang melandasi hidup dan kehidupan kita menuju ridha Ilahi, sekaligus menyinari qalbu dan nurani kita untuk menengok realita kebesaran Khaliq an realita kehidupan di sekitar kita. Alangkah, kegelapan menjadi kabut tebal yang menutupi kebenaran Ilahi di sekitar kita perlu disingkap dengan sinar mentari pagi (dhuha) yang kita rayakan ini. Wallahu A'lam, dan Selamat berkorban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar