Jika berbicara mengenai Papua, seringkali yang terbayang dalam benak kita adalah keunikan ukiran kayu Suku Asmat atau keaslian budaya Suku Dani di Pegunungan Tengah Papua yang telah sangat dikenal. Disamping itu, ada pula keunikan dan keaslian budaya yang melekat pada masyarakatnya. Papua dengan luas wilayah 421.981 Km2, atau lebih dari 20% luas daratan Indonesia atau 3,5 kali pulau Jawa, memiliki panjang pantai ± 2000 mil laut dan luas perairan sekitar 228.000 Km2. Wilayah Papua membujur dari Barat ke Timur antara Kota Sorong –Jayapura sepanjang ± 1.200 Km, dan membujur dari utara ke selatan antara Kota Jayapura – Merauke sepanjang ± 736 Km.
Papua merupakan daerah yang dipenuhi bukit dan gunung-gunung yang kaya dengan hutan hujan tropis ( tropical rain forest ) yang sulit dijelajahi dan sebagain besar masih merupakan hutan perawan. Salah satu puncak pegunungannya dikenal dengan nama Puncak Jaya ( Cartenz Pyramid ) yang merupakan puncak tertinggi di Indonesia yang diselimuti oleh salju abadi, dengan dikelilingi oleh kawasan konservasi Lorentz seluas 21.500 Km2 serta merupakan areal konservasi alam tertua di Indonesia. Dikawasan ini terdapat berbagai ragam kekayaan hayati dalam berbagai ekosistem, mulai dari rawa bakau sampai puncak salju.
Perjalanan singkat kota Jayapura dimulai dari Pulau Debi dan Teluk Youtefa yang ditemukan oleh pelaut Prancis bernama L.A. Bougainvelle. Kemudian dijadikan sebagai Pusat Penyebaran Injil di Daratan Jayapura oleh Belanda
Nama Kota Jayapura pada awalnya adalah Hollandia dimana nama tersebut di berikan oleh Kapten Sachse pada tanggal 07 Maret 1910. Hollandia memiliki arti: Hol = lengkung; teluk land= tanah, tempat yang berteluk. Kapten Sachese juga memproklamirkan Holandia sebagai Ibu Kota Pemerintahan menggantikan Pulau Debi yang ditutup. Negeri Belanda atau Holland atau Nederland - geografinya menunjukkan keadaan berteluk-teluk. Geografi Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai utara negeri Belanda itu. Kondisi alam yang berlekuk-lekuk inilah yang mengilhami Kapten Sache untuk mencetuskan nama Hollandia di nama aslinya Numbay.
Pada tahun 1946 nama Holandia diubah menjadi Kota Baru, kemudian pada tahun 1951-1955 Kota Baru diganti namanya menjadi Hollandia Stad lalu diubah lagi menjadi Hollandia Binen dan kembali lagi menggunakan nama Kota Baru. Pada tanggal 31 Desember 1963 untuk pertama kalinya Presiden Pertama RI Bpk. Ir. Soekarno mengunjungi Tanah Papua dan mengganti nama Kota Baru menjadi Soekarnopura. Tahun 1965 atau tepatnya setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 oleh PKI, maka nama Kota Soekarnopura diubah menjadi Djajapura (seiring dengan perkembangan maka sekarang dikenal dengan nama Jayapura)
Nama Kota Jayapura pada awalnya adalah Hollandia dimana nama tersebut di berikan oleh Kapten Sachse pada tanggal 07 Maret 1910. Hollandia memiliki arti: Hol = lengkung; teluk land= tanah, tempat yang berteluk. Kapten Sachese juga memproklamirkan Holandia sebagai Ibu Kota Pemerintahan menggantikan Pulau Debi yang ditutup. Negeri Belanda atau Holland atau Nederland - geografinya menunjukkan keadaan berteluk-teluk. Geografi Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai utara negeri Belanda itu. Kondisi alam yang berlekuk-lekuk inilah yang mengilhami Kapten Sache untuk mencetuskan nama Hollandia di nama aslinya Numbay.
Pada tahun 1946 nama Holandia diubah menjadi Kota Baru, kemudian pada tahun 1951-1955 Kota Baru diganti namanya menjadi Hollandia Stad lalu diubah lagi menjadi Hollandia Binen dan kembali lagi menggunakan nama Kota Baru. Pada tanggal 31 Desember 1963 untuk pertama kalinya Presiden Pertama RI Bpk. Ir. Soekarno mengunjungi Tanah Papua dan mengganti nama Kota Baru menjadi Soekarnopura. Tahun 1965 atau tepatnya setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 oleh PKI, maka nama Kota Soekarnopura diubah menjadi Djajapura (seiring dengan perkembangan maka sekarang dikenal dengan nama Jayapura)
Irian Jaya definitif kembali ke Indonesia 1 Maret 1963 dengan Ibu Kota Jayapura. Sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang (2009) sudah 46 tahun berlalu. Banyak sekali kemajuan dan perubahan yang terjadi di Irian Jaya (Jayapura).
Sejarah dan Budaya
Penduduk Papua, saat ini berjumlah 2,2 juta orang, dimana proporsi penduduk asli berjumlah kurang lebih 1,3 juta jiwa. Mereka merupakan penduduk yang masih dapat dikatakan masih sangat tradisional, kecuali pada beberapa daerah pantai yang relatif lebih maju kebudayaannya sebagai hasil interaksi dengan dunia luar. Hingga beberapa puluh tahun yang lalu, sebagian besar penduduk yang hidup terutama di pedalaman masih laiknya berada di zaman batu. Masih banyak penduduk asli di pegunungan yang hanya mengenakan penutup kemaluan bagi lelaki (Koteka) dan wanitanya hanya mengenakan rok dari rumput. Perang antar suku tidak banyak terjadi lagi tetapi bukannya hilang samasekali, sedangkan pertanian tradisional masih dilakukan.
Di Papua terdapat 251 bahasa atau merupakan 40% jumlah bahasa yang dikenal di Indonesia yang jumlahnya ± 600. Bahasa di Papua jika digabungkan dengan 770 bahasa di Papua New Guinea merupakan seperlima dari bahasa yang dikenal di dunia. Sebanyak 140 bahasa di Papua hanya digunakan oleh kurang dari 1000 orang. Sepertiga dari penduduk asli Papua menggunakan salah satu dari bahasa Dani (400.000) atau bahasa Ekagi (130.000) dan hanya kedua bahasa ini dan bahasa Asmat (80.000) yang banyak dikenal.
Manusia sudah datang di New Guinea lama sebelum mereka sampai di Amerika atau bagian daratan Eropa. Bukti-bukti tidak langsung menujukkan bahwa pada sekitar 30.000 – 40.000 tahun yang lalu, nenek moyang orang pribumi Papua datang dalam kelompok kecil bersamaan waktu dengan masa pembentukan es, sehingga permukaan laut menurun. Pulau yang menyambut kedatangan para pendahulu ini sama sekali berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang. Diperkirakan kala itu bentangan es menyelimuti daerah yang luas dan salju terdapat pada ketinggian hanya 350 m di atas permukaan laut. Suhu udara 7 derajad Celcius lebih rendah dari suhu pada saat sekarang. Dalam beberapa tahap zaman es, laut Arafuru yang dangkal merupakan daratan yang berperan sebagai jembatan, sehingga penduduk asli Papua dapat bercampur dengan penduduk asli Australia. Bukti dari kejadian ini dapat disaksikan dari kesamaan gaya serta motif kerajinan batu yang dapat ditemui di sepanjang pantai barat daya Papua (pantai Kaimana) dan di Arnhem Land di Australia Utara. Dari bukti-bukti genetika dapat diketahui bahwa perpisahan kedua penduduk asli ini terjadi pada sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Orang Austronesia merupakan kelompok besar terakhir yang datang ke Papua yang telah mengenal teknologi yang tinggi, yaitu jenis senjata dan peralatan yang lebih baik, cara bertani dan serta telah memelihara binatang peliharaan. Pada saat orang-orang Austronesia datang, penduduk asli Papua sudah hidup dalam kelompok-kelompok tani yang menetap, dalam masyarakat yang sudah cukup kompak untuk mempertahankan jatidiri, bahasa dan budaya mereka. Sekitar tahun4000 SM, orang Papua diduga telah menanam keladi dan umbi-umbian serta memelihara babi. Terdapat satu jenis umbi-umbian yang dinamakan Ipomea, berasal dari dunia baru, namun dengan cara bagaimana dapat sampai ke pedalamam Papua, adalah suatu misteri.
Perdagangan antara New Guinea dengan Indonesia tengah dan barat, mungkin sudah berlangsung sejak sebelum datangnya agama Kristen. Pedagang dari nusantara bagian barat membawa baju dan barang-barang logam untuk dipertukarkan dengan bulu burung Cenderawasih, budak belian dan kulit batang masoi, yang di Jawa digunakan untuk ramuan jamu. Orang berambut keriting yang tertera pada ukiran dinding candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-18, mungkin adalah orang Papua. Buku syair Serat Negarakertagama dari kerajaan Majapahit pada abad ke-14 juga menceritakan tentang Papua.
Pada awal abad ke-16, orang Portugis pertama yang menginjakkan kakinya di tanah Papua adalah Jorge de Meneses yaitu seorang Gubernur yang ditempatkan di Maluku. Dia adalah orang Eropa pertama yang memberi gambaran tentang New Guinea yang dia namakan “Ilhas dos Papuas”. Selain itu, salah satu yang terkenal karena penelitiannya di New Guinea adalah Alfred Russel Wallace (1858) yang melakukan penelitian selama lima bulan di daerah teluk Dorei. Karena penelitian biologinya menghasilkan teori tentang sejarah spesiasi yang mirip dengan teori Charles Darwin.
Pada awal abad 20 pemerintah Belanda mulai melakukan penelitian yang serius terhadap New Guinea, diantara penelitian yang paling penting adalah pengiriman tentara secara besar-besaran kepedalaman New Guinnea pada tahun 1907 dan 1915. Penemuan besar yang terakhir terjadi pada tahun 1938, yaitu ketika sebuah ekspedisi yang dipimpin seorang penjelajah Amerika bernama Richard Archbold, mendarat dengan pesawat terbang di danau Habbema dan menemukan lembah Baliem. Lembah Baliem Besar merupakan lembah subur, terhampar di daratan aluvial dengan ukuran 50 kali 15 kilometer, di huni oleh 50.000 suku Dani yang belum pernah berhubungan dengan dunia luar sebelum kedatangan Archbold. Pada dewasa ini lembah Baliem adalah tujuan wisata utama di Papua.
Misionaris adalah salah satu penjelajah perintis di Papua, pada tanggal 5 Februari 1855 dua orang pendeta Jerman yang dipekerjakan oleh Gereja Protestan Belanda, datang ke Papua dan pertama kalinya menginjakkan kaki di pulau Mansinam Manokwari, yaitu pendeta Ottow dan Geisler. Dari merekalah penyebaran agama Kristen mulai dilaksanakan di Papua. Dan untuk mengenang masuknya Injil ke tanah Papua maka oleh Pemerintah Daerah tanggal 5 Februari telah ditetapkan sebagai Hari Masuknya Injil di Tanah Papua dan dinyatakan sebagi hari libur resmi untuk Papua.
Pada tahun 1942, Jepang melancarkan serangan terhadap Pearl Harbour, terus ke selatan sampai di New Guinea (Papua) tanpa perlawanan yang berarti dari tentara Belanda sehingga Hollandia (Jayapura) dapat dikuasai tentara Jepang. Pada musim semi 1944, Amerika Serikat memasuki perang dengan mengerahkan tentara dan material dalam upaya perlawanan balik dibawah pimpinan Jenderal Douglas McArthur. Dengan kekuatan 1.200 pesawat terbang, 217 kapal laut dan 50.000 tentara, akhirnya McArthur dapat mendarat di Hollandia dan menguasai kota dengan korban 159 tentara sekutu. Setelah Hollandia jatuh ketangan sekutu, Biak kemudian menjadi sasaran berikutnya untuk dapat menguasai pantai utara New Guinea. Pertempuran Biak merupakan salah satu pertempuran yang paling ganas selama perang dimana tentara Amerika menggunakan dinamit dan bahan bakar diesel untuk mengusir tentara Jepang dalam gua. Hanya 220 orang tentara Jepang selamat. Sampai sekarang masih banyak keluarga veteran mengunjungi Biak untuk menghormati anggota keluarga yang menjadi korban perang. Sekutu kemudian memperluas lapangan terbang Biak untuk pendaratan pesawat pembom besar yang mampu membalikkan gelombang perang Pasifik.
Dalam mempelajari sejarah kita akan kenal dengan beberapa tahap perkembangan sejarah, berikut secara singkat dapat di ulas kembali yaitu:
1. Persiapan Kemerdekaan Negara West Papua
Papua perna di janjikan oleh Belanda akan memberikan kemerdekaan dan telah di persiapkan dengan nama Negara West Papua, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, lambang Negara Burung Mambruk, Bendera Negara Bintang Kejora. Dan tepatnya pada tanggal 1 desember tahun 1961 telah melakukan deklarasi kemerdekaan Negara West Papua. deklarasi tersebut dilakukan oleh dewan nasional Papua atau kadang disebut komite nasional Papua Barat yang di bentuk pada waktu itu untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua. pada saat itu semua orang Papua 100% setuju dan ingin memiliki Negara sendiri (merdeka).
2. Pelaksanaan PEPERA 1969
Kemudian pada tahun 1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat atau di singkat PEPERA oleh Indonesia dengan tujuan membatalkan kemerdekaan Papua Barat dengan maksud mengintegrasikan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya rencana pembatalan kemerdekaan Papua telah dilaksanakan dengan sangat manipulative dan penuh dengan tekanan militer Indonesia. Sekitar 1.025 orang saja melaksanakan pepera, sedangkan menurut perjanjian New York (new York Agrement) 1963, harus dilakukan satu orang satu suara (one man one people), namun dilakukan dengan cara indonesia yaitu dengan cara musyawarah. Para peserta PEPERA di ajak berjalan – jalan keliling pulau jawa dan bali, menghinap di hotel mewah dengan ketersediaan perempuan jawa yang dapat menemani istirahat para peserta PEPERA serta pemberian oleh – oleh berupa radio tens dll.
Jika demikian patut kita pertanyakan kenapa pulau Papua ini di manipulasi dan dipaksa masuk ke dalam Indonesia, ada kepentingan apa sehingga menjadi perebutan? Pertanyaan ini jawabannya adalah tidak lain dari kepentingan ekonomi kapitalis dan Indonesia. Berikut sebagai contoh dapat kita pelajari apa yang melatarbelakangi perebutan wilayah Papua ke dalam NKRI:
1. Kepentingan ekonomi kapitalis
Kepentingan kapitalis ini dapat kita lihat bahwa sebelum pepera dilaksanakan pada tahun 1969, pada tahun 1967 PT Freeport Indonesia (2 tahun sebelum pepera) sudah mengantongi ijin operasi kekayaan alam yang ada di Papua khususnya di sekitar wilayah selatan Timika.
2. Kepentingan ekonomi Indonesia
Sangat jelas bahwa Papua memiliki kekayaan alam yang berlimpah dibandingkan dengan pulau – pulau lainya di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak mau membiarkan Papua di rebut oleh Negara lain atau pisah dari NKRI. Sehubungan dengan kepentingan ekonomi Indonesia, dapat kita lihat sebuah pernyataan yang di lakukan oleh seorang perancang Pepera Ali Murtopo (orang kepercayaan soeharto) menyebutkan:
Jika kamu orang Papua ingin merdeka, pergilah mengemis di Amerika dan memintah sala satu pulau di pasifik atau pergilah ke bulan dan dirikan Negara Papua di sana. Sebab kami tidak butuh orang Papua, tetapi kami butuh tanah Papua.
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa orang Indonesia tidak memerlukan orang Papua (manusia Papua), melainkan kekayaan yang ada di Papua yang melimpah ruah yang sampai saat ini di jadikan dapur bagi Indonesia juga bagi kapitalis yang memiliki kepentingan ekonomi di Papua. teringat bahwa dalam media online Facebook perna saya menyampaikan isi hati saya setelah berfikir dan merenung terhadap persoalan Papua dan saya menulis:
“Pulau Papua Bagaikan Gadis cantik yang terus menerus di Perkosa (ekplorasi/eksploitasi) oleh semua laki-laki (negara dan pengusaha yang memiliki kepentingan), tetapi setelah puas (mengambil kekayaan alam) mereka akan meninggalkannya (membebaskan Papua) dalam kondisi telanjang dan tidak berdaya (kehabisan kekayaan alam Papua)”.
B. Otonomi Khusus Papua
Otonomi khusus Papua bukan aspirasi masyarakat Papua yang kemudian di godok menjadi UU untuk di berlakukan di Papua melainkan hasil negosiasi atau kompromi para elit local Papua dan Pemerintah pusat semata sebagai solusi jalan tengah (win-win solution) dari tuntutan rakyat Papua yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Akhirnya negosiasi antara pemerintah pusat dengan para elit politik local Papua telah berhasil menyepakati agar otonomi khusus bagi Papua dapat di berlakukan.
Kesepakatan itu mewarnai banyaknya protes dan penolakan oleh rakyat Papua terhadap pemberlakuan otonomi khusus di Papua tetapi bagaimanapun tetap di paksakan untuk tetap di berlakukann di Papua karena otonomi khusus sudah di anggap sah dari hasil negosiasi dan di kompromikan dengan para elit Papua sehingga kompromi tersebut merupakan kekuatan yang sah dan tidak dapat di lawan atau digugat oleh rakyat kecil dan atau masa yang berjumlah banyakpun tidak memiliki kekuatan untuk melawan para elit politik local yang dapat di hitung dengan jari.
Sesuai dangan hasil kompromi itulah, maka otonomi khusus secara resmi di berlakukan melalui Undang – Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dimana secara resmi mulai di berlakukan di Papua pada tahun 2001.
UU Otsus Papua yang di harapkan akan lebih baik dari sebelum otsus ternyata setelah berapa tahun otsus berjalan rakyat Papua sudah mulai protes karena ketidak efektifnya UU Otsus, kemudian muncul aksi besar – besaran yang di lakukan oleh rakyat Papua dan para intelektual muda Papua (Pemuda-mahasiswa) dengan pernyataan – pernyataan otsus Papua telah gagal hingga saat ini. Namun di sisi lain kucuran dana otsus puluhan triliyunan rupiah masih saja di kucurkan oleh pemerintah pusat ke Papua, walaupun otsus sudah di anggap gagal.
Seorang Staf komnas Ham RI Stanley Adi Prasetyo, menyebutkan bahwa, sepuluh tahun sudah Undang-Undang No 21 tentang Otonomi Khusus Papua disahkan. UU ini awalnya diharapkan bisa menyelesaikan masalah di Papua. Namun, jika melihat keadaan di Papua secara keseluruhan, tak ada perubahan secara signifikan. Implementasi UU Otsus Papua kenyataannya mengundang banyak pertanyaan, sebab rakyat Papua masih bergelut dengan kemiskinan. Kehadiran UU Otsus Papua menimbulkan masalah pelik bagi Papua yang diakui merupakan tempat yang kaya akan sumber daya alam. Masyarakat Papua secara umum masih bergelut dengan berbagai persoalan pelanggaran HAM, kemiskinan, dan kebodohan.
Berbagai gejolak, konflik, dan kekerasan di Papua merupakan ekspresi kekecewaan akibat UU Otsus tidak terlaksana secara konsisten. Bertumpuknya kekecewaan ini menimbulkan ketidakpercayaan yang semakin lama menjadi faktor penghambat dan mengganggu proses pembangunan di Papua. Orang Papua melihat pemerintah pusat sebagai pembohong. Pemerintah menetapkan banyak peraturan perundang-undangan khusus untuk Papua, mengeluarkan berbagai macam kebijakan pembangunan, dan mengumbar janji pembangunan. Tetapi, orang Papua melihat bahwa pemerintah tidak serius mewujudkannya.
Sala seorang dosen Uncen juga mengakui bahwa UU Otonomi Khusus masih terkendala secara Yuridis (hukum) maupun non Yuridis. Secara yuridis adalah dimana pasal – pasal dari UU Otsus belum sepenuhnya dilakukan bahkan ada pasal – pasal tertentu tidak efektif di jalankan, secara non yuridis adalah permasalahan di luar hokum yang mestinya secara efektif berjalan tetapi tidak berjalan dalam praktek pelaksanaan UU Otsu situ sendiri.
Jadi, Intinya adalah semua orang Papua tidak puas dengan otsus karena otsus bukan merupakan aspirasi rakyat Papua tetapi sebuah tawaran pemerintah pusat yang dikompromikan pemerintah pusat kepada para elit local Papua. Biarpun dana otsus yang di kucurkan pemerintah pusat ke Papua dengan jumlah puluhan bahkan ratusan triliyunpun orang Papua tidak akan merasa puas dan tenang. Teriakan tentang keluar dari penjajahan Indonesia akan terus menerus di suarakan sampai titik darah penghabisan. Otsus juga terkesan dipaksakan agar berlaku di Papua.
C. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)
Di tengah – tengah pernyataan penolakan otsus karena ketidakpuasan rakyat Papua terhadap pemberlakuan otonomi khusus di Papua, pemerintah pusat menawarkan lagi dengan program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). sampai saat ini masih di warnai protes terhadap program UP4B oleh masyarakat, DPR, MRP, tokoh agama, Pemuda dan kaum intelektual muda Papua (Pemuda dan mahasiswa).
Namun dilain sisi pihak – pihak yang pro terhadap program UP4B terus melakukan kampanye dengan maksud mengambil hati rakyat Papua yang menolak program tersebut. Bahkan pada hari rabu, 11 Januari 2012 telah pelantikan 13 pejabat UP4B di Jayapura yaitu (mulai dari eselon II, III, dan IV) di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua.
UP4B di bentuk dengan payung hokum Peraturan Presiden no 65 2011, dengan tujuan mempercepat percepatan pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat yang di anggap terbelakang atau tertinggal dari kemajuan – kemajuan di wilayah Indonesia lainya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah UP4B akan lebih baik dari pada Otonomo Khusus, Untuk menjalankan program UP4B Sumber dana mana yang akan di gunakan, Katanya daerah khusus kenapa harus pusat yang memegang kepala daerah hanya sebagai ekornya UP4B, Berapa Lama kerja UP4B?
D. Analisis Terhadap UP4B
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, tentu harus melihat apa isi dari UP4B itu sesuai dasar hokum yang mengaturnya yaitu PP No 65 tahun 2011,
1. Otsus telah dianggap gagal oleh rakyat Papua, karena belum menjawab permasalahan Papua yang di harapkan. Sekarang UP4B di lucurkan lagi untuk mempercepat pembangunan Papua dan Papua Barat dengan masa waktu yang sangat singkat hanya dua tahun (2011-2012) saja . PP UP4B di diklaim bagian dari pada rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional untuk masa waktu 2010-2014. [8] jika di hitung waktu berarti 2 tahun (2010-2011) terbuang sia – sia saja, semestinya efektif berlakunya sejak tahun 2010-2014, hal ini dapat di anggap program RPJM oleh pemerintah pusat masih setengah hati dan tidak serius terhadap program RPJM dan khususnya tentang program UP4B di Papua. permasalahan UP4B ini merupakan sesuatu yang di prediksi tidak akan berhasil seperti yang di harapkan oleh rakyat Papua terutama pembangunan di daerah – daerah terpencil dan di sekitar pegunungan tengah Papua, karena untuk Pembangunan terutama insfrakstrutur membutuhkan waktu yang lama, bukan 4 tahun di kurangi 2 tahun sehingga menjadi 2 tahun (2012-2014) UP4B di Papua.
2. Jika kita mencoba memperhatikan isi (substansi), dari bunyi PP no 65 2011 secara singkat menyebutkan bahwa tujuan program UP4B adalah:
a. Mempercepat Pembangunan Papua dan Papua Barat
b. Meningkatkan kesejahtraan masyarakat Papua dan Papua Barat
c. Kordinasi program Pembangunan Papua dan Papua Barat dengan menggunakan APBD provinsi, kabupaten dan kota. [9]
3. Berdasarkan pasal 15, pembiayaan akan di biayai dari APBN, APBD Provinsi Papua dan Papua Barat, ABPD Kabupaten / Kota di Papua dan Papua Barat, sumber pendanahan lainnya dari pinjaman atau Hibah luar negeri, insvestasi swasta, dan non pemerintah sesuai peraturan perundang – undangan.[10] menyangkut pendanaan mestinya tidak menggunakan dana APBD Provinsi Papua dan Papua Barat, Kabupaten dan Kota, karena daerah mengusulkan APBD sesuai dengan kebutuhan daerah, tidak termasuk pendanaan Program UP4B. apabila UP4B di biayai dengan APBD berarti program pembangunan daerah yang sebelumnya di usulkan APBD untuk pembagunan daerah melalui mekanisme daerah kini akan di limpahkan kepada pengurus UP4B untuk mengelolahnya dan daerah kemungkinan akan menonton saja.
4. Karena program ini berkaitan dengan program rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, maka untuk Papua paling tidak di lakukan penambahan dana Otsus atau dengan nama lain guna percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, dan tidak perlu pemerintah pusat mengambil alih dalam hal teknis pelaksanaan pembangunan Papua dan Papua barat, biarlah Gubernur dari kedua Provinsi yang mengaturnya. Apa lagi APBD kedua Provinsi, kabupaten dan kota yang akan di gunakan juga guna menyukseskan program UP4B ini. Hal ini menunjukan pemerintah pusat setengah hati memberlakukan otsus di Papua dan khususnya ragu melimpahkan kewenangan untuk mengatur program RPJM Nasional untuk Papua dan Papua Barat.
F. Kesimpulan
saya mau menyebutkan pepata kata, tetapi itu adalah fakta yang sering kita jumpai dalam kehidupan kita“ dimana ada gula, disitu ada semut”, Papua memiliki kekayaan alam yang tidak sebanding dengan wilayah lain di Indonesia, termasuk Negara – Negara di dunia, sehingga untuk mengambil dan menguasai kekayaan alam Papua setiap orang (pribadi), kelompok, Negara akan terus merebut dan atau mengambil kekayaan alam yang ada di Papua dengan paksaan.
Jadi hanya kepentingan ekonomi semata Papua di integrasikan ke dalam NKRI,Integrasi Papua ke dalam NKRI bukan mrupakan aspirasi rakyat Papua, Otonomi Khusus juga bukan aspirasi rakyat Papua, UP4B juga demikian, sehingga segala kebijakan yang di lakukan pemerintah pusat termasuk Otonomi Khusus dan UP4B tentu tidak akan berhasil baik karena ketidakpuasan, rakyat Papua akan terus memberontak dan memberontak terhadap pemerintah pusat. segala kebijakan oleh pemerintah pusat tentu tidak akan baik, sehingga referendumlah yang dianggap baik bagi penyelesaian permasalahan Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar