5 Nov 2013

Suku suku di Sumatera Selatan

Indonesia memang kaya akan suku bangsanya, Dari sabang sampai marauke. kali ini saya akan berbagi suku suku yang ada di propinsi Sumatera Selatan, Asal daerah saya yang telah lama saya tinggalkan. Tenyata Untuk Sum Sel aja beragam suku yang ada disana. Saya sebagai anak Palembang baru ini mengetahui secara detail suku di  daerah sumatera selatan, selama ini yang saya tahu cuma orang atau daerah asal orang tersebut, ternyata ada 12 suku besar yang terkenal, belum lagi dengan suku - suku yang kurang terkenal. yang ada di daerah Sumatera Selataan.. Ya saman Memang Kayo budayo nyo. dan cindo cindo galo bicek mangcek Plembang tu. Itulah yang membuat aku bangga jadi wong Palembang.
Ingin tahu suku apa saja yang ada di Sumatera Selatan....??? berikut ini daftarnya:


1. Suku Komering


Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung. Suku Komering terbagi atas dua kelompok besar: Komering Ilir yang tinggal di sekitar Kayu Agung dan Komering Ulu yang tinggal di sekitar kota Baturaja.


Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras.


Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.




Suku Komering adalah Orang Lampung Juga”. Hal yang mendasari penulis membuat artikel ini adalah di karena ada pandangan dari sebagian masyarakat Komering (Sumatera Selatan) yang tidak mengaku sebagai bagian dari masyarakat Lampung. Hal tersebut perlu dikaji dengan bukti sejarah mengenai asal-usul dan perpindahan suku Komering, terutama ke Lampung.

Untuk lebih jelasnya mengenai asal-usul dan perpindahan suku Komering (dikutip dari Wacana N usantara : Perjalanan Komering di Lampung) akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Asal-Usul Tujuh Kepuhyangan


Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri atau mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.


Pada artikel yang berjudul Kebesaran Sriwijaya yang Tak Tersisa - The Rise of Sriwijaya Empire (Komentar Agung Arlan), disebutkan bahwa Kepuhyangan Samandaway yang merupakan kepuhyangan tertua komering menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Sriwijaya dengan Pu Hyang Jaya Naga (Sri Jaya Naga) sebagai Raja Sriwijaya pertama yang berkedudukan di daerah dekat Gunung Seminung dan kemudian berpindah ke Minanga (Setelah itu Pusat Ibu Kota berpindah ke Palembang, dan yang terakhir ke Jambi pada beberapa kurun masa Kerajaan Sriwijaya).


Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mereka menncari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.


Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Skala Brak ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang dan kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.


Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.


Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).


Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).


Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Skala Brak baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.


Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).


2. Penyebaran Suku Komering Ke Lampung


Tak diragukan lagi, banyak orang Komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.

Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang Komering di tahun 1800 M pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh Kebuayan Abung."

Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung Pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini mereka kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya, dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. Mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.


Perpindahan berikutnya, dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Mereka menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.


Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang sebagai "nyapah" (terendam). Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga, karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering, Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).


Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di Komering seperti Betung dsb, yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.


Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering.


3. Kesimpulan


Melihat asal-usul suku Komering yang awal mula berasal dari Skala Brak lalu menyebar ke daerah dataran Way Komering dan kemudian sebagian menyebar ke Lampung, dipastikan “suku komering adalah orang Lampung juga”. Dimana bahasa, huruf tulisan dan adat istiadat yang digunakan sama dengan orang Lampung.


Orang Komering melakukan perpindahan ke Lampung Tahun 1800-an, masuk ke daerah Abung Kebuayan Nunyai dan menetap disana menurunkan Lampung Sungkai (Bunga Mayang).


Kebuayan Semendaway (Kebuayan Tertua Komering) dari Minanga melakukan penyebaran ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah (Pulau Panggung), Bunglai, Cempaka - Sungkai Jaya (Lampung Utara), Sukadana (Lampung Timur dekat Negeri Tuho) dan Pagelaran (Tanggamus).


Selain itu juga mendirikan dua kampung yaitu Komering Agung/Putih (Lampung Tengah) dan Tiuh Gedung Komering - Negeri Sakti (Gedongtataan).


Pada artikel “Sejarah Keratuan Lampung” yang telah terbit sebelumnya, di daerah Komering khususnya di Martapura dulu telah berdiri Keratuan Pemanggilan. Keturunan Keratuan Pemanggilan menyebar ke daerah pesisir Barat Krui, Teluk Semaka, atau Teluk Lampung. Hal ini menjadi bukti bahwa sejak dulu masyarakat Komering yang tinggal di sekitar Martapura telah melakukan perpindahan ke berbagai daerah di Lampung (Pra atau Sejaman dengan Kepaksian Pak Skala Brak Abad ke-14) sebelum Sungkai Bunga Mayang pindah ke Lampung tahun 1800-an. Dari bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa orang Komering (Tua) yang telah melakukan perpindahan ke Lampung pada Pra atau Sejaman Kepaksian Pak menurunkan Suku Lampung Pesisir Pemanggilan (Lampung Pesesekh di Cukuh Balak, Kota Agung, Talang Padang, Kedondong dan Way Lima). Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa “Suku Komering adalah Orang Lampung juga”.

2. Suku Palembang


Kelompok suku Palembang memenuhi 40 - 50% daerah kota palembang. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok : Wong Jeroo merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari orang-orang istana dari kerajaan tempo dulu yang berpusat di Palembang, dan Wong Jabo adalah rakyat biasa. Seorang yang ahli tentang asal usul orang Palembang yang juga keturunan raja, mengakui bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan bangsa Arab, Cina, suku Jawa dan kelompok-kelompok suku lainnya di Indonesia. suku Palembang sendiri memiliki dua ragam bahasa, yaitu Baso Palembang Alus dan Baso Palembang Sari-Sari.


Suku Palembang masih tinggal/menetap di dalam rumah yang didirikan di atas air. Model arsitektur rumah orang Palembang yang paling khas adalah rumah Limas yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk melindungi dari banjir yang terus terjadi dari dahulu sampai sekarang. Di kawasan sungai Musi sering terlihat orang Palembang menawarkan dagangannya di atas perahu.


Suku Palembang, atau Orang Palembang, adalah salah satu masyarakat adat yang menempati kota Palembang provinsi Sumatra Selatan. Suku Palembang memenuhi lebih dari setengah penduduk kota Palembang.


Suku Palembang dalam kehidupan mereka terdiri dari 2 kelompok yang membedakan strata sosial mereka, yaitu:


kelompok Wong Jeroo, adalah keturunan bangsawan/hartawan dan stausnya berada setingkat di bawah orang-orang Istana dari Kerajaan Palembang, pada masa lalu yang berpusat di Palembang,


kelompok Wong Jabo, adalah rakyat biasa.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya suku Palembang adalah merupakan hasil dari asimilasi dari beberapa suku bangsa Arab, Cina dan Melayu, yang bermigrasi ke wilayah Palembang ini pada berabad-abad yang lalu dan hidup berdampingan sekian lama, dan terjadi perkawinan-campur selama berabad-abad. Dari ketiga suku bangsa ini lah lahir suatu etnik yang disebut suku Palembang yang memiliki budaya dan adat-istiadat tersendiri.


Tetapi beberapa dari masyarakat Palembang lainnya justru menolak hal tersebut, dan mengatakan bahwa suku Palembang adalah suatu komunitas adat tersendiri, dan sebagai penghuni pertama wilayah Palembang, jauh sebelum kehadiran bangsa Arab, Cina dan Melayu. Mungkin saja terjadi perkawinan-campur antara suku Palembang dengan beberapa suku bangsa pendatang tersebut, tetapi justru beberapa suku bangsa pendatang tersebut lah yang ikut masuk ke dalam budaya dan adat-istiadat suku Palembang.


Suku Palembang dalam kesehariannya berbicara dalam bahasa Palembang, yang dikategorikan sebagai bahasa Melayu, yang sering disebut sebagai bahasa Melayu Palembang. Bahasa Palembang ini mirip dengan bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Malaysia, hanya saja memakai dialek "o". Bahasa Melayu Palembang ini memiliki dua diale bahasa, yaitu baso Palembang Alus dan baso Palembang Sari-Sari.


Kebanyakan masyarakat suku Palembang, suka tinggal di rumah yang dibangun di atas permukaan air. Rumah orang Palembang yang paling populer adalah rumah Limas yang berbentuk rumah panggung dan dibangun di atas air di pinggiran sungai Musi. Orang Palembang termasuk ahli dalam membuat beberapa jenis makanan, beberapa makanan asli buatan orang Palembang yang telah dikenal di Indonesia, adalah pempek, lenggang dan tekwan. Di antara ketiga jenis makanan khas Palembang ini yang paling terkenal adalah pempeknya.





Masyarakat suku Palembang, memiliki tradisi yang telah dijalankan selama beberapa abad sebagai pedagang, sebagian kecil menjajakan dagangannya di atas permukaan air sungai Musi dengan menggunakan perahu. Selain menjadi pedagang, orang Palembang juga banyak yang berhasil menduduki sektor penting di pemerintahan Sumatra Selatan, dan juga tidak sedikit yang berhasil di perantauan dalam segala bidang, termasuk menjadi pejabat pemerintahan Indonesia dan beberapa sukses menjadi artis, sedangkan yang lain juga banyak bekerja di sektor swasta dan lain-lain.


3. Suku Gumai


Suku Gumai adalah salah satu suku yang mendiami daerah di Kabupaten Lahat. Sebelum adanya Kota Lahat, Gumai merupakan satu kesatuan dari teritorial GUMAI, yaitu Marga Gumai Lembak, Marga Gumai Ulu dan Marga Gumai Talang.


Setelah adanya kota Lahat, maka Gumai menjadi terpisah dimana Gumai Lembak dan Gumai Ulu menjadi bagian dari Kecamatan Pulau Pinang sedangkan Gumai Talang menjadi bagian dari Kecamatan Kota Lahat.


Suku Gumai adalah salah satu suku yang mendiami daerah di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Adapun penulisan suku Gumai saat ini lebih dikenal dengan sebutan/penulisan “GUMAY”. Suku Gumai bukan saja sebagai identitas diri seseorang dalam hal nama, akan tetapi juga merupakan identitas asal daerah, identitas daerah serta identitas keturunan.  Tidak semua orang yang menggunakan nama Gumai atau Gumay menetap di Gumai (dalam hal ini di Kabupaten Lahat), bisa saja orang/person yang menggunakan nama Gumai/Gumay, baik di depan ataupun dibelakang namanya adalah orang – orang yang seumur hidup tidak pernah melihat daerah Gumai/Gumay itu sendiri. Penggunaan nama yang di sandingkan didepan/dibelakang nama seseorang itu sendiri menunjukkan tepat asal, keturunan ataupun nama keluarga. Bisa salah satunya dan bisa juga ketiga – tiganya.


Menurut cerita dari tetuah-tetuah dusun di kampung Gumai ,serta beberapa catatan suku Gumai merupakan keturunan anak cucu dari Puyang Diwe Gumay mendiami daerah yang cukup luas dalam bentuk dusun. Yang akhirnya tumbuh menjadi tiga marga sebagai sub dari suku Gumay, antara lain :

Gumay Lembak, yang terletak di kecamatan Pulau Pinang. Tepatnya berkedudukan di Lubuk Sepang


Gumay Ulu, terletak di kecamatan Pulau Pinang. Berkedudukan di Tinggi Hari.
Gumay Talang, terletak di kecamatan Kota Lahat, tepatnya di Langu-Endikat.
Meskipun demikian, sejarah menunjukan ketiga marga Gumay ini tetap dalam satu kesatuan keluarga Gumay dibawah pimpinan adat Jurai Tue (Jurai Kebalikan).
Saya sendiri mendapatkan marga Gumay dari keturunan Pihak ayah, ayah saya berasal dari Lahat tepatnya kecamatan Jarai dusun Aromantai. dan menurut silsilah dari keturunan gumay ayah saya merupakan subbagian suku Gumay Ulu.


I. ASAL KETURUNAN GUMAY LEMBAK


Puyang Muke Akhahan yang sangat legendaris dan di panggil Kerie Sindang Matahari, pimpinan Gumay Jurai ke-XIII mempunyai 8 anak, 7 laki-laki dan 1 perempuan. Anak-anak ini lah yang akan menjadi cikal bakal keturunan Gumay Lembak untuk membangun dusun.


Atungkal Diwe, anak tua bertempat di dusun Bapak yaitu di Lubuk Sepang.
  • Gune Raja, berpindah ke Endikat. Yang akhirnya menikah dengan Putri Langu. Yang akhirnya menjadi cikal bakal marga Gumay Talang.
  • Puyang Abawan, bertempat di dusun Tanjung Sirih. tepatnya dipinggiran Ayik Lim bersama keturunannya.
  • Puyang Bigih, bertempat dan berkeluarga didusun Kuba.
  • Puyang Pandan, putri satu-satunya dari Puyang Muke Akhahan yang bersuami ke Bandar Agung.
  • Puyang Bile Raje, bertempat dan berkeluarga di dusun Pulau Pinang.
  • Puyang Bile Bujang, bertempat diseberang dusun Pulau Pinang. tepatnya didusun Tanjung Mulak beserta keluarganya.
  • Puyang Bile Pantas, mengambil anak didusun Germidar Pagar Gunung yang akhirnya mengikuti Jurai orang Pagar Gunung.diperkirakan Puyang Bigih bukan hanya bertempat didusun Kuba tetapi juga didusun Karang Dalam Ulu, Jati, Pagar Batu dan Muara Siban".


II. ASAL MULA KETURUNAN GUMAY ULU.


Puyang Panjang yang mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni : Puyang Muke Akhahan dan Puyang Yal Binguk.


Puyang Yal Binguk menjadi pendiri keturunan Gumay Ulu didusun Lubai. Puyang Yal Binguk naik ke Ulu menelusuri Ayik Lim membuat permukiman baru setelah memperistri Putri Tebing Plawi yang disebut dusun Lubai.


Yang akhirnya Puyang Yal Binguk mempunyai 5 orang anak laki-laki :


Kerie Sendan, bertempat dan menetap di Tunggu Tubang (Lubai).
  • Kerie Dayang, menetap di Lubuk Sele.
  • Kerie Muksin, menetap di Serungge setelah beristri orang Marga Kikim.
  • Kerie Tiron menetap didusun Muara Dua Pagar Gunung, setelah mengambil anak.
  • Kerie Taron, mengikuti kakak (Kerie Tiron) ke Muara Dua Pagar Gunung

III. ASAL MULA KETURUNAN GUMAY TALANG.


Puyang Gune Raje yang bertempat di Dusun Lubuk Sepang. Puyang Gune Raje memperistrikan Dayang Intan Putri Ratu Langu, yang merupakan adik kandung dari Pekik Nyaring. Setelah menikah Puyang Gune Raje menetap di Langu dan dusun Lubuk Sepang sebagai dusun asal mula tempat kembali ( bada balik ).


Namun Ratu Langu menganjurkan kepada Puyang Gune Raje dan istrinya untuk membangun permukiman baru. Yang akhirnya bertempat di Endikat, yang menurut mereka merupakan daerah yang cocok.


Dari dusun Endikat ini lah keturunan Puyang Gune Raje berkembang dan membentuk Marga baru yakni Marga Gumay Talang yang tetap dibawah naungan sistem pemerintahan dan adat Gumay, bersama Gumay Lembak dan Gumay Ulu yang merupakan keturunan Puyang Diwe Gumay setelah meluaskan jaringan keluarganya menjadi Gumay Tige Jukhu : Gumay Lembak, Gumay Ulu dan Gumay Talang.


4. Suku Semendo


Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari keturunan suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan kemudian menetap dan beranak cucu di daerah Semendo.


Hampir 100% penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian, yang masih diolah dengan cara tradisional. Lahan pertanian di daerah ini cukup subur, karena berada kurang lebih 900 meter di atas permukaan laut. Ada dua komoditi utama dari daerah ini : kopi jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per tahunnya, dan padi, dimana daerah ini termasuk salah satu lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan.


Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman yang sangat kuat. Mulai dari musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya berakhiran "e."


Suku Semendo (Semende), adalah salah satu etnis yang berada di kecamatan Semendo kabupaten Muara Enim provinsi Sumatera Selatan. Populasi suku Semendo diperkirakan sebesar 105.000 orang.


Masyarakat suku Semendo, berbicara dalam bahasa Semendo, yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu. Bahasa Semendo banyak terdapat kemiripan dengan bahasa Palembang. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari pada bahasa Semendo pada umumnya berakhiran "e." Suatu ciri khas dari karakter bahasa Melayu.


Asal usul suku Semendo secara pasti tidak diketahui darimana, salah satu versi cerita rakyat yang menyatakan suku Semendo dahulunya hidup bersama-sama dengan suku Palembang, sebelum masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Kemungkinan karena tekanan dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang memperluas wilayah kekuasaannya, mendesak suku ini masuk lebih ke pedalaman Sumatra Selatan. Sepertinya suku Semendo ini berasal dari suku bangsa deutro-malayan yang bermigrasi secara besar-besaran ke wilayah Asia Tenggara dari daratan Indochina pada awal tahun Masehi sekitar abad 3 Masehi, yang mana kelompok Semendo ini mendarat di pesisir Sumatra Selatan dan sempat bermukim sekian lama di wilayah pesisir, hidup bersama-sama kelompok deutro-malayan lainnya, seperti suku Palembang dan lain-lain.



Seluruh adat-istiadat dan budaya dalam masyarakat suku Semendo terlihat jelas sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu Islam. Dari musik rebana, lagu daerah dan tarian seluruhnya dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Salah satu adat pada suku Semendo adalah adat Tunggu Tubang, yaitu adat yang mengatur hak warisan pada keluarga, adat ini menentukan hak atas warisan adalah anak wanita yang paling tua. Warisan berbentuk sebidang sawah dan sebuah rumah yang diwariskan dari generasi ke generasi secara terus menerus. Adat inilah yang menyebabkan tingginya hasrat untuk merantau bagi anak laki-laki. Budaya dan adat-istiadat Islami yang diamalkan suku Semendo ini diperkirakan berasal dari bangsa-bangsa Melayu yang membawa budaya mereka dari daratan Riau atau Malaysia.


Ajaran Islam pada masyarakat suku Semendo sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Semendo. Mereka sangat patuh menjalankan syariat Islam secara rutin dan teratur, sesuai dengan rukun Islam. Hampir di setiap tempat terdapat tempat ibadah bagi masyarakat ini. Selain itu pesantren juga banyak terdapat di wilayah suku Semendo ini, yang secara khusus mendidik putra-putri suku Semendo menjadi penyebar agama Islam di daerahnya.


Suku Semendo membutuhkan peningkatan pengolahan lahan pertanian agar dapat dikerjakan dengan lebih modern. Saat ini telah ada proyek kerja sama yaitu : proyek penggilingan kopi, perikanan dan percontohan perikanan. Proyek ini perlu didukung dan dikembangkan lagi untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mereka juga membutuhkan peningkatan dalam bidang pendidikan.


Masyarakat Semendo hidup dari hasil pertanian terutama pada tanaman padi sawah dan ladang, yang diolah dengan cara tradisional. Pada umumnya mereka menanam kopi jenis Robusta dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dari daerah suku Semendo ini jumlah produksi kopi Robusta pada setiap panen bisa mencapai 300 ton per tahun. Selain itu masyarakat suku Semendo ini juga bergerak pada bidang perikanan dan pembibitan ikan.


5. Suku Lintang


Kawasan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Selatan merupakan tempat tinggal suku Lintang, diapit oleh suku Pasemah dan Rejang. Suku Lintang merupakan salah satu suku Melayu yang tinggal di sepanjang tepi sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan.


Suku Melayu Lintang hidup dari bercocok tanam yang menghasilkan : kopi, beras, kemiri, karet dan sayur-sayuran. Mereka juga beternak kambing, kerbau, ayam, itik, bebek, dll. Mereka tidak mencari nafkah di sektor perikanan walaupun tinggal di tepi sungai.


Orang Lintang adalah penganut Islam yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan banyaknya mesjid-mesjid dan pesantren untuk melatih kaum mudanya.


Letak:Sumatera Selatan
Populasi:70.000
Bahasa:Lintang
Anggota Gereja:0%
Alkitab dalam bahasa Lintang:Tidak Ada
Film Yesus dalam bahasa Lintang:Tidak Ada
Siaran radio pelayanan dalam bahasa Lintang:Tidak Ada

Kawasan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Selatan merupakan tempat tinggal suku Lintang, diapit oleh suku Pasemah dan Rejang. Suku Lintang merupakan salah satu suku Melayu yang tinggal di sepanjang tepi sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan. Secara geografis, ada 4 `pintu masuk' ke daerah mereka : Muarapinang, Pendopo, Tebingtinggi dan Ulumusi.


SOSIAL BUDAYA


Suku Melayu Lintang hidup dari bercocok tanam yang menghasilkan : kopi, beras, kemiri, karet dan sayur-sayuran. Mereka juga beternak kambing, kerbau, anjing, ayam, itik, bebek, dll. Mereka tidak mencari nafkah di sektor perikanan walaupun tinggal di tepi sungai. Kondisi perekonomian suku Lintang masih sangat memprihatinkan, sehingga mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal yang negatif untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sistem kekeluargaan menganut sistem patrilineal. Para pria bekerja sebagai petani, tetapi pekerjaan itu hanyalah musiman dengan panen kopi yang hanya setahun sekali. Para wanita juga ikut bekerja di ladang, dan seringkali meninggalkan anak-anaknya di rumah, sehingga anak-anak sedikit mendapatkan pengawasan dan terlalu bebas. Sedangkan kelompok orang Lintang yang tidak mengerjakan pekerjaan kasar biasanya mempunyai kuku panjang di jari kelingkingnya. Kaum muda suku Lintang biasanya memilih pasangan hidupnya sendiri tetapi pengaturannya dilakukan pihak keluarga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu dan dibangun di atas tiang-tiang penyangga (rumah panggung).
Pemimpin masyarakat biasanya adalah kaum pria dan orang Lintang asli. Kepemimpinan kaum pria ini sudah melekat kuat dalam masyarakat Muslim. Bila timbul konflik, mereka menyelesaikannya di tingkat keluarga; bila masih tidak bisa diselesaikan, masalahnya akan dibawa ke para pemimpin/penatua desa. Kalau tetap tidak bisa diselesaikan, biasanya akan dibawa ke polisi/makamah agama.
Tidak ada bentuk kesenian khusus yang bisa ditemukan di sini kecuali seni pencak silat yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam. Demikian pula tari-tarian yang dulu pernah ada tetapi sekarang tidak dikembangkan. Perayaan-perayaan/upacara tradisional yang mereka lakukan umumnya berhubungan dengan agama Islam, seperti : Idul Fitri, perayaan pernikahan, dan khitanan.


AGAMA/KEPERCAYAAN


Orang Lintang adalah penganut Islam yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan banyaknya mesjid-mesjid dan pesantren untuk melatih kaum mudanya.


KEBUTUHAN
Saat ini orang Lintang membutuhkan perbaikan sarana-sarana kesehatan, karena banyaknya penyakit yang menyerang mereka, antara lain : malaria, typhus, penyakit kulit, diare, infeksi saluran pernafasan, dll, akibat cara hidup mereka yang kurang bersih. Mereka juga butuh saluran air bersih karena selama ini masih sepenuhnya bergantung pada air sungai. Dalam bidang pendidikan mereka membutuhkan guru karena banyaknya sekolah yang kekurangan tenaga pengajar. Sektor pertanian pun masih sangat perlu diperbaiki guna meningkatkan produksi pertanian masyarakat di daerah ini.

6. Suku Kayu Agung


Suku Kayu Agung adalah suatu komunitas masyarakat adat yang berada di kabupaten Ogan Komering Ilir yang beribukota Kayu Agung di Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah pemukiman suku Kayu Agung ini dilintasi oleh sungai Komering. Dalam kesehariannya, suku Kayu Agung berbicara dalam dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung dan bahasa Ogan.


Bahasa Kayu Agung mirip dengan bahasa Melayu walaupun banyak terdapat perbedaan. Suku Kayu Agung dalam lingkungan sesama orang Kayu Agung akan berbicara dalam bahasa Kayu Agung. Bila berhubungan dengan orang Ogan, maka mereka akan berbicara dalam bahasa Ogan yang diucapkan oleh suku Ogan. Suku Ogan banyak bermukim di Kota Agung. Selain hidup berdampingan dengan suku Ogan, Suku Kayu Agung bermukim di pemukiman mereka yang terletak di suku Komering.


Istilah kayu agung menjadi identitas suku Kayu Agung karena komunitas ini adalah penghuni asli Kota Agung. Komunitas suku mereka pun disebut sebagai suku Kayu Agung. Selain di kecamatan Kayu Agung, mereka juga tersebar di beberapa desa di wilayah kecamatan Mesuji pada beberapa desa seperti desa Sungai Sodong, desa Sungai Badak, desa Nipah Kuning dan desa Pagar Dewa.


Secara historis, suku Kayu Agung sebenarnya masih berkerabat dengan suku Ogan, dengan kata lain berasal dari satu rumpun yang sama. Mayoritas suku Kayu Agung beragama Islam, tetapi dalam praktek keseharian mereka, banyak dari mereka yang tetap menjalankan tradisi kepercayaan lama, seperti kepercayaan terhadap dunia roh. Mereka percaya kalau roh orang mati bisa kembali dan mengganggu ketentraman mereka.


Oleh karena itu, sebelum mayat dikubur harus dimandikan dengan bunga dari bermacam-macam jenis agar roh dari orang yang mati lupa jalan pulang ke rumahnya. Mereka juga percaya terhadap dukun yang membantu dalam upacara pertanian, baik saat menanam maupun saat panen. Mereka juga memiliki tempat keramat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh-roh.


Mata pencaharian suku Kayu Agung adalah bertani, berdagang, dan membuat gerabah dari tanah liat. Bentuk pertanian kebanyakan bersawah tahunan karena daerahnya terdiri dari rawa-rawa. Jadi sawah hanya diolah saat musim hujan. Tehnik pengolahan tanahnya pertama-tama mereka membersihkan dan membabat rumput, setelah air sawah tinggal sedikit lalu padi ditanam. Pekerjaan membersihkan rumput umumnya dilakukan laki-laki, namun saat panen dikerjakan secara gotong royong oleh laki-laki dan perempuan.


Garis keturunan suku ini ditarik secara bilateral (dari ayah atau ibu). Susunan kemasyarakatan sangat dipengaruhi adat Simbur Cahaya, yaitu sistem kemasyarakatan berdasarkan undang-undang Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang. Dalam lapisan sosialnya, masyarakat dibagi atas tiga golongan, yaitu bangsawan, rakyat biasa, dan rakyat jelat. Tiap warga masyarakat wajib bekerja bakti (gate atau mata gawe) untuk kepentingan dusun, marga, dan istana.


Setiap penduduk yang sudah bekerja, sudah kawin, dan memiliki rumah sendiri harus memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap raja berupa pajak dan wajib dinas. Keputusan-keputusan terhadap perkara-perkara adat diambil dengan mengadakan rapat adat menurut tingkatannya, yaitu rapat dusun, rapat kampung, rapat marga, rapat kecil, dan rapat besar.


Rapat dusun dan rapat kampung dipimpin oleh pasirah atau depati. Rapat kecil diadakan oleh beberapa marga yang terlibat dalam satu masalah. Rapat besar ditangani oleh tumenggung atau rangga. Adat istiadat suku ini meliputi banyak upacara tradisional, mulai dari adat kelahiran, meminang, perkawinan, khitanan, sampai dengan adat kematian. Bentuk kesenian khas daerah terdiri dari tarian adat, permainan gurdah, rebana, kasidah.


Suku Kayu Agung berdomisili di Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan ibukotanya Kayu Agung. Wilayah ini dialiri sungai Komering. Bahasanya terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Kayu Agung dan dialek Ogan.


Mata pencaharian suku ini bertani, berdagang, dan membuat gerabah dari tanah liat. Bentuk pertanian kebanyakan bersawah tahunan karena daerahnya terdiri dari rawa-rawa. Jadi sawah hanya dikerjakan saat musim hujan.


Suku Kayu Agung mayoritas beragama Islam, tetapi mereka juga mempertahankan kepercayaan lama, yaitu kepercayaan mengenai dunia roh. Suku Kayu Agung percaya bahwa roh-roh nenek moyang dapat mengganggu manusia. Oleh karena itu, sebelum mayat dikubur harus dimandikan dengan bunga-bunga supaya arwah roh yang mati lupa jalan ke rumahnya. Mereka juga percaya akan dukun yang membantu dalam upacara pertanian, baik saat menanam maupun saat panen. Selain itu ada tempat-tempat keramat yang mereka anggap sebagai tempat bersemayamnya para arwah.


Suku Kayu Agung, adalah suatu komunitas masyarakat adat yang berada di kabupaten Ogan Komering Ilir yang beribukota Kayu Agung di provinsi Sumatera Selatan. Wilayah pemukiman suku Kayu Agung ini dilintasi oleh sungai Komering.


Suku Kayu Agung dalam kesehariannya berbicara dalam 2 bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung dan bahasa Ogan. Bahasa Kayu Agung mirip dengan bahasa Melayu, walaupun banyak terdapat perbedaan. Suku Kayu Agung dalam lingkungan sesama orang Kayu Agung akan berbicara dalam bahasa Kayu Agung, tetapi bila berhubungan dengan orang Ogan, maka mereka akan berbicara dalam bahasa Ogan yang diucapkan oleh suku Ogan yang banyak bermukim di Kota Agung ini. Suku Kayu Agung ini selain hidup berdampingan dengan suku Ogan, di pemukiman mereka ini juga terdapat suku Komering.

Istilah "kayu agung" menjadi identitas suku Kayu Agung, mungkin karena komunitas ini adalah penghuni asli Kota Agung, sehingga komunitas suku mereka disebut sebagai suku Kayu Agung. Selain di kecamatan Kayu Agung, mereka juga tersebar di beberapa desa di wilayah kecamatan Mesuji pada beberapa desa seperti desa Sungai Sodong, desa Sungai Badak, desa Nipah Kuning dan desa Pagar Dewa. Secara sejarah suku Kayu Agung sebenarnya masih berkerabat dengan suku Ogan, dengan kata lain berasal dari satu rumpun yang sama.


Masyarakat suku Kayu Agung secara mayoritas telah beragama Islam, tetapi dalam praktek keseharian mereka, banyak dari mereka yang tetap menjalankan tradisi kepercayaan lama, seperti kepercayaan terhadap dunia roh. Mereka percaya kalau roh orang mati bisa kembali dan mengganggu ketentraman mereka. Oleh karena itu, sebelum mayat dikubur harus dimandikan dengan bunga dari bermacam-macam jenis agar roh dari orang yang mati lupa jalan pulang ke rumahnya. Mereka juga percaya terhadap dukun yang membantu dalam upacara pertanian, baik saat menanam maupun saat panen. Selain itu ada mereka memiliki tempat keramat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh-roh.



Kehidupan suku Kayu Agung dalam mempertahankan hidup pada dasarnya sebagai petani. Sebagian besar dari mereka hidup dari bertani pada persawahan di daerah rawa-rawa. Selain itu banyak juga yang memilih profesi sebagai pedagang serta membuat kerajinan gerabah dari tanah liat.


7. Suku Lematang


Suku Lematang tinggal di daerah Lematang yang terletak di antara Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Daerah ini berbatasan dengan daerah Kikim dan Enim. Suku ini menempati wilayah di sepanjang sungai Lematang, di sekitar kota Muaraenim dan kota Prabumulih.


Asal usul orang Lematang dari kerajaan Majapahit, keturunan orang Banten dan Wali Sembilan.


Orang Lematang sangat terbuka dan memiliki sifat ramah tamah dalam menyambut setiap pendatang yang ingin mengetahui seluk beluk dan keadaan daerah dan budayanya. Mereka juga memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Hal itu terbukti dari sikap gotong royong dan tolong menolong bukan hanya kepada masyarakat Lematang sendiri tetapi juga kepada masyarakat luar.

Suku Lematang, adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam di provinsi Sumatra Selatan, di daerah Lematang yang berada di antara kabupaten Muara Enim dan kabupaten Lahat. Daerah suku Lematang ini berbatasan dengan daerah Kikim dan Enim. Pemukiman suku Lematang ini berada di sepanjang sungai Lematang, tidak terlalu jauh dari kota Muaraenim dan kota Prabumulih. Wilayah pemukiman orang Lematang berada di 4 kecamatan, salah satunya kecamatan Merapi yang terdiri dari 37 buah desa di antaranya desa Muara Lawai, desa Gedung Agung, desa Banjarsari, desa Kota Agung, desa Tanjung baru, desa Arahan dan lain-lain.


Asal usul orang Lematang diperkirakan berasal dari kelompok suku bangsa deutro-malayan yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Indochina. Pada awalnya hidup di daerah pesisir, tetapi karena berkembangnya kerajaan Sriwijaya dan ingin memperluas wilayah kekuasaannya dengan menyerang setiap wilayah pemukiman di sekitar kerajaan Sriwijaya, maka mereka pun terdesak masuk lebih ke pedalaman melalui aliran sungai Musi, hingga masuk ke aliran sungai Lematang dan mendirikan pemukiman di tempat ini.


Ada sebuah cerita yang tersimpan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, bahwa masyarakat suku Lematang masih keturunan dari orang-orang yang berasal dari kerajaan Sriwijaya.
Bahasa Lematang, mirip dengan bahasa Melayu, tetapi walau mirip, sebenarnya terdapat banyak perbedaan.


Pada dasarnya orang Lematang sangat terbuka dan selalu bersikap ramah tamah dalam menyambut setiap tamu yang hadir di wilayah pemukiman mereka. Selain itu rasa kebersamaan juga nampak dari kehidupan setiap masyarakat suku Lematang ini. Terlihat dari sikap gotong-royong dan tolong-menolong.


Rumah orang Lematang biasanya dibangun dengan bentuk rumah panggung. Kadang mereka membangun rumah di atas permukaan air di pinggiran sungai. Tradisi rumah seperti ini adalah tradisi dari sejak zaman nenek moyang mereka yang tetap dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat suku Lematang. Lagipula wilayah pemukiman suku Lematang ini banyak terdapat rawa-rawa, jadi model rumah panggung ini lah yang menjadi pilihan paling tepat untuk ditempati.Rumah-rumah ini memiliki tempat duduk yang menghadap ke jalan raya di bagian depan rumah yang disebut pance. Pance adalah tempat untuk bersantai baik dengan sesama anggota keluarga maupun dengan orang yang berkunjung.


Masyarakat Lematang, memiliki 2 sistem adat pernikahan:


calon mempelai laki-laki akan menjadi anggota keluarga penuh dari calon mempelai perempuan, semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak perempuan.


mempelai laki-laki bersama mempelai perempuan diperbolehkan meninggalkan mertuanya untuk mencari pekerjaan di daerah lain, namun jaminan masa tua mertua tetap menjadi tanggung jawab mereka.
Apabila orang dari luar suku Lematang menikah dengan salah satu orang Lematang, maka mereka harus menikah secara Islam. Setelah acara pernikahan, mereka diberikan kebebasan untuk memeluk agama lain. Namun, setelah berpindah agama ia masih diterima sebagai anggota keluarganya, tetapi tidak diakui lagi sebagai masyarakat Lematang.


Harta warisan diserahkan kepada anak perempuan. Akibatnya banyak anak laki-laki yang merantau untuk mencari nafkah. Pendapat mereka mengenai adat-istiadat mereka, adalah bahwa,adat-istiadat mereka tidak berbeda dengan Lahat dan Muara Enim.


Masyarakat Lematang saat ini secara mayoritas memeluk agama Islam, namun dalam keseharian banyak dari mereka yang masih mempercayai dan terlibat dalam ilmu-ilmu gaib. Mereka adalah penganut Islam yang taat. Satu hal yang patut dipuji adalah dalam dalam pandangan hidup orang Lematang adalah mereka sangat menghargai agama di luar agama yang mereka anut. Menurut mereka bahwa semua agama itu baik dan selalu bertujuan baik terhadap penganutnya.


Pada dasarnya masyarakat Lematang hidup pada bidang pertanian, seperti persawahan dan perladangan. Namun saat ini banyak dari orang Lematang yang telah bekerja di sektor pemerintahan maupun swasta, dan juga pada sektor-sektor lain. Pada pendidikan masih banyak generasi muda Lematang yang kurang mendapatkan tingkat pendidikan yang layak sehingga perlu mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah daerah setempat.


8. Suku Ogan


Suku Ogan terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir. Mereka mendiami tempat sepanjang aliran Sungai Ogan dari Baturaja sampai ke Selapan. Orang ogan biasa juga disebut orang Pagagan. Suku Ogan terbagi menjadi 3 (tiga) sub-suku, yakni: Suku Pegagan Ulu, Suku Penesak, dan Suku Pegagan Ilir. Kelompok masyarakat ini adalah penduduk asli dan bertani, tetapi banyak juga yang menjadi pegawai negeri. Makanan pokok suku ini ialah hasil pertanian.


Suku Ogan, adalah suatu masyarakat adat yang hidup tersebar di kabupaten Ogan Ilir, kabupaten Ogan Ulu dan juga terdapat di kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang semuanya berada di provinsi Sumatra Selatan. Mereka mendiami tempat sepanjang aliran sungai Ogan dari Baturaja sampai ke Selapan. Populasi suku Ogan pada sensus terakhir diperkirakan sebesar 300.000 orang.


Suku Ogan terdiri dari 3 sub-suku
  • suku Pegagan Ulu
  • suku Penesak
  • suku Pegagan Ilir
Selain ketiga suku di atas, masih terdapat satu suku lagi yang termasuk bagian dari sub-suku Ogan, yaitu suku Lubai yang berada di desa Jiwa Baru.


Suku Ogan berbicara dalam bahasa Ogan, yang mirip dengan bahasa Melayu Deli dan Melayu Malaysia, dan bahasa Ogan dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Melayu.


Menurut klasifikasi rumpun bangsa, suku Ogan termasuk ke dalam rumpun deutro-malayan atau melayu muda.


Menurut beberapa tulisan yang ada di situs-situs Internet ataupun media massa, menceritakan tentang asal usul suku Ogan, dikatakan berasal dari keturunan Kesultanan Palembang, dan juga merupakan keturunan dari orang-orang dari zaman Kerajaan Sriwijaya.


Kehadiran suku Ogan di pulau Sumatra ini, diperkirakan telah ada sejak abad ke 3 atau jauh sebelumnya, yang telah ada sebelum terbentuknya Kerajaan Sriwijaya. Masuk ke pulau Sumatra, pada saat kelompok deutro malayan yang bermigrasi secara besar-besar dari daratan indochina menuju wilayah Asia Tenggara. Pada saat memasuki daratan Sumatra, mereka menetap di wilayah pesisir. Sebagian dari mereka memasuki daerah pedalaman menyusuri sungai-sungai menuju pedalaman. Di pedalaman ternyata telah ada suku yang terlebih dahulu menetap di wilayah tersebut, yaitu suku Abung dan suku Pasemah. Ketiga suku bangsa ini hidup berdampingan selama beratus-ratus tahun. Setelah berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, maka kehidupan mereka terdesak oleh tekanan dari Kerajaan Sriwijaya, maka ketiga suku inipun berpencar mencari wilayah baru untuk ditempati. Akhirnya suku Ogan menetap di wilayah Ogan, dan pada masa itu masih mengamalkan adat-istiadat dan bahasa asli mereka yang dibawa dari daratan Indochina, tempat asal mereka.


Masuknya bangsa Melayu ke wilayah mereka, memberikan pengaruh besar bagi suku Ogan, adat-istiadat serta bahasa asli suku Ogan pun tergeser ke dalam budaya dan adat-istiadat Melayu. Sehingga saat ini suku Ogan dikategorikan ke dalam rumpun bangsa Melayu.

Suku Ogan, mayoritas adalah pemeluk agama Islam, sedangkan sebagian kecil memeluk agama Kristen Katolik. Masyarakat suku Ogan yang muslim adalah pemeluk Islam yang taat. Sehingga hampir seluruh budaya dan adat-istiadat mereka dipengaruhi oleh budaya Islam dan Melayu.


Suku Ogan, secara mayoritas hidup pada bidang pertanian. Saat ini tidak sedikit dari masyarakat Ogan yang telah bekerja di sektor pemerintah maupun swasta.


9. Suku Pasemah


Suku Pasemah adalah suku yang mendiami wilayah kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, dan di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif, gunung Dempo. Suku bangsa ini juga banyak yang merantau ke daerah-daerah di provinsi Bengkulu.


menurut sejarah, suku ini berasal dari keturunan Raja Darmawijaya (Majapahit) yang menyeberang ke Palembang (pulau Perca). Suku ini banyak yang tersebar di pegunungan Bukit Barisan, khususnya di lereng-lerengnya. Menurut mitologi nama Pasemah berasal dari kata Basemah yang berarti berbahasa Melayu. Hasil utama masyarakat suku ini ialah kopi, sayur-sayuran dan cengkeh dengan makanan pokoknya ialah beras.

Suku Pasemah atau Besemah, adalah suatu masyarakat adat yang bermukim didaerah perbatasan provinsi Sumatra Selatan dengan provinsi Bengkulu. Wilayah pemukiman suku Pasemah meliputi daerah sekitar kota Pagar Alam, kecamatan Jarai, kecamatan Tanjung Sakti dan daerah sekitar kota Agung kabupaten Lahat. Wilayah pemukiman suku Pasemah ini berada dekat sekitar kaki Gunung Dempo.


Istilah Pasemah, terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu “Prasasti Palas Pasemah” ada hubungannya dengan tanah Pasemah. Dengan adanya prasasti ini, menunjukkan bahwa suku Pasemah, telah ada sejak sebelum abad 6 Masehi.


Masyarakat Pasemah, menyebut diri mereka sebagai orang Besemah. Saat ini, justru sebutan Pasemah yang populer di Indonesia ini, tidak banyak orang yang tahu dengan sebutan yang benar, yaitu Besemah.

Keberadaan suku Pasemah sendiri diperkirakan telah ada di wilayah Sumatra Selatan ini sejak ribuan tahun sebelum Masehi, bersama-sama suku Komering dan suku Lampung. Hanya saja sejak awal kedatangan, telah terpisah-pisah dan berbeda tempat pemukiman.

Suku Pasemah, kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi dan budaya yang khas. Masyarakat di tanah Pasemah sejak dulu sudah memiliki tatanan dan aturan masyarakat yang bernama “Lampik Empat, Merdike Due” yakni, "Perwujudan Demokrasi Murni", yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.

Menurut masyarakat suku Pasemah, asal usul mereka diawali dengan kedatangan Atong Bungsu, sebagai nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat, yang datang dari Hindia Muka, yang memasuki wilayah Sumatra Selatan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling. Pada saat kedatangan si Atong Bungsu, ternyata sudah ada 2 suku yang terlebih dahulu menempati daerah itu, yaitu suku Penjalang dan suku Semidang. Mereka bersepakat untuk sepanjang hidup sampai anak keturunan tidak akan mengganggu dalam segala hal. Atong Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya Puyang Diwate, Puyang Mandulike, Puyang Sake Semenung, Puyang Sake Sepadi, Puyang Sake Seghatus dan Puyang Sake Seketi, menjadi suatu kelompok masyarakat Jagat Besemah atau yang disebut sekarang sebagai suku Besemah (Pasemah).
menunjukkan bahwa suku Pasemah salah satu bangsa Proto-Malayan hidup sejak zaman Megalith

Disebutkan, Atong Bungsu berkembang dan mempunyai keturunan. Keturunannya menyebar ke berbagai tempat dan membentuk beberapa kelompok, yaitu suku Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Ke 4 suku ini disebut sebagai kelompok suku Lampik Empat. Jadi di wilayah Sumatra Selatan pada masa itu terdapat 6 suku yang menyatu dan membentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki tatanan demokrasi modern.
Dalam beberapa tulisan di beberapa situs internet, disebutkan bahwa Atong Bungsu sebagai nenek moyang suku Besemah berasal dari Majapahit. Agak sedikit membingungkan!, Karena orang Pasemah atau Besemah, telah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya atau bahkan sebelum masa Kerajaan Sriwijaya sekitar abad 6. Sedangkan Majapahit baru ada sejak abad 12. Mungkinkah suku Pasemah yang telah ada sejak abad 6, berasal dari nenek moyang yang hidup pada abad 12 ? hal ini perlu ditelaah lebih lanjut.. Suku Pasemah berasal dari Atong Bungsu, bisa diterima oleh akal, tetapi kalau berasal dari Majapahit, sepertinya tidak masuk akal. Karena orang Pasemah sendiri jauh lebih tua dari Kerajaan Majapahit, dan bahkan mungkin telah ada sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya.

Orang Pasemah, adalah orang-orang yang pemberani dan memiliki sikap setia kawan terhadap siapapun yang dianggap telah menjadi kawan, serta loyal dan berkomitmen. Sikap dan kepribadian orang-orang Pasemah ini justru diakui oleh beberapa penulis Belanda di zaman kolonial.

10. Suku Sekayu


Suku Sekayu terletak di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Mayoritas penduduknya petani. Hasil pertaniannya adalah padi, singkong, ubi, jagung, kacang tanah dan kedelai. Hasil perkebunan yang menonjol adalah karet, cengkeh dan kopi. Industri rakyat yang terkenal berupa bata dan genteng.


Suku Sekayu merupakan "manusia sungai" dan senang mendirikan rumah-rumah yang langsung berhubungan dengan sungai Musi. Tidak seperti umumnya suku-suku di Indonesia, suku Bugis, Minangkabau atau Jawa, suku Sekayu jarang berpindah-pindah ke tempat yang jauh. Keinginan untuk lebih maju dan mencari keberuntungan mereka lakukan hanya sampai di ibukota propinsi.
Suku Sekayu, adalah salah satu komunitas suku yang bermukim di kabupaten Musi Banyuasin provinsi Sumatera Selatan. Populasi suku Sekayu diperkirakan lebih dari 250.000 orang.


Suku Sekayu hidup di rumah-rumah yang didirikan di tepi sungai atau di atas permukaan air sungai di sungai Musi. Mereka dari sejak dahulu sudah hidup menetap di wilayah ini. Mereka adalah suku bangsa yang betah hidup di wilayah mereka sendiri, jarang melakukan perantauan atau bermigrasi ke daerah lain. Pergerakan mereka biasanya paling jauh hanya sampai kota Palembang.


Rumah-rumah suku Sekayu ini berbentuk rumah panggung. Sebagian besar mereka mendirikan rumah mereka di atas permukaan sungai, atau di tepian, tetapi ada juga yang membangun rumah agak jauh dari sungai.


Sistem kekerabatan pada suku Sekayu berdasarkan hubungan patrilineal. Para istri wajib memelihara peraturan dan keharmonisan rumah tangga. Tradisi suku Sekayu adalah selalu menginginkan anak laki-laki, karena dianggap sebagai jaminan bakal negeri (memperkuat kuasa mereka) dan jaminan kelanjutan garis keturunan mereka (negakke jurai) atau marga.


Bahasa yang diucapkan oleh masyarakat suku Sekayu, adalah bahasa Melayu Sekayu, yang masih dekat dan mirip dengan bahasa Palembang. Bahasa suku Sekayu dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Malayic.


Sedangkan asal usul suku Sekayu tidak diketahui secara pasti. Tetapi dari salah satu cerita rakyat suku Sekayu mengatakan bahwa mereka dahulunya berasal dari suatu tempat yang jauh di seberang laut, datang ke tanah ini bersama-sama dengan suku Palembang yang kemungkinan adalah kerabat mereka pada masa lalu.


Masyarakat suku Sekayu hampir seluruhnya adalah penganut agama Islam, dan hanya sebagian kecil yang memeluk agama Kristen. Setiap desa di Sekayu selalu terdapat bangunan rumah ibadah mesjid atau langgar. Tetapi walaupun pada umumnya mereka telah beragama, tetapi sebagian besar dari mereka masih menjalankan beberapa praktek okultisme dan kepercayaan animisme yang mungkin berasal dari masa nenek moyang mereka dahulu. Mereka sering pergi ke dukun (ahli nujum) di saat menghadapi masalah dan kesulitan.


Hampir seluruh masyarakat suku Sekayu hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi sawah atau padi ladang, selain itu mereka juga menanam ubi kayu, jagung, kacang tanah dan kedelai. Sementara itu tanaman karet, cengkeh dan kopi juga menjadi sektor perkebunan utama mereka. Pada kerajinan industri rakyat yang terkenal dari wilayah Sekayu adalah berupa batu-bata dan genteng. Masyarakat suku Sekayu yang bermukim di Palembang, beberapa dari mereka sukses menduduki sektor pekerjaan penting, mulai dari guru, dosen universitas, ahli riset, hartawan dan pengembang lahan, pekerja galangan dan juga sebagai penarik becak.


11. Suku Rawas


Suku ini terletak di wilayah propinsi Sumatera Selatan, tepatnya di sekitar dua aliran sungai Rawas dan sungai Musi bagian utara. Suku ini menempati wilayah di Kecamatan Rawas Ulu, Rawas Ilir, dan Muararupit, di Kabupaten Musi Rawas. Bahasa Rawas masih tergolong ke dalam rumpun melayu. Di wilayah ini banyak terdapat kebun karet rakyat.


Suku Rawas, salah satu suku yang bermukim di dekat sungai Rawas dan sungai Musi sebelah utara, tepatnya berada di kecamatan Rawas Ulu, Rawas Ilir, dan Muararupit, yang seluruh kecamatan tersebut berada di kabupaten Musi Rawas provinsi Sumatra Selatan. Populasi suku Rawas diperkirakan sebesar 150.000 orang.


Pada beberapa tulisan dikatakan bahwa suku Rawas ini dianggap sebagai suku Anak Dalam juga, seperti suku Banyuasin, suku Teras dan suku Kubu. Karena masyarakat suku Rawas ini lebih suka hidup jauh dari perkampungan suku-suku lain, dan memilih tempat yang terpencil dan terasing. Sehingga bagi para peneliti dan penulis di beberapa situs, sering menyebutkan suku Rawas ini sebagai suku terasing.


Walaupun suku Rawas hidup secara terasing, tetapi mereka tidaklah primitif. Karena saat ini apabila diperhatikan kehidupan mereka yang terlihat sangat sederhana, sebenarnya mereka telah mengenal beberapa budaya dari era modern, seperti memiliki kompor minyak, radio dan televisi, bahkan beberapa telah memiliki genset (generator pembangkit listrik yang berukuran kecil.
Masyarakat suku Rawas, saat ini sebagian besar masih meyakini dan mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan dunia roh. Mereka percaya bahwa roh-roh di alam dapat mempengaruhi nasib mereka.


Suku Rawas berbicara dalam bahasa Rawas, yang apabila dilihat dari perbendaharaan kata yang dimiliki oleh bahasa Rawas terdapat kemiripan dengan bahasa Melayu. Hanya saja bahasa Rawas, sepertinya lebih tua dari bahasa Melayu pada umumnya.


Suku Rawas sebagian besar hidup sebagai petani, terutama pada tanaman karet yang di tanam hampir di segala tempat di dekat pemukiman suku Rawas. Selain itu mereka juga banyak yang berprofesi sebagai penangkap ikan di sungai-sungai yang melintas dekat pemukiman mereka.


12. Suku Banyuasin


Suku ini terutama tinggal di kab. Musi Banyuasin yaitu di kec. Babat Toman, Banyu Lincir, Sungai Lilin, dan Banyuasin Dua dan Tiga. Umumnya mereka tinggal di dataran rendah yang diselingi rawa-rawa dan berada di daerah aliran sungai. Sungai terbesar adalah sungai Musi yang memiliki banyak anak sungai. Mata pencaharian pokoknya adalah bertani di sawah dan ladang. Mereka masih percaya terhadap berbagai takhyul, tempat keramat dan benda-benda kekuatan gaib. Mereka juga menjalani beberapa upacara dan pantangan.


Suku Banyuasin disebut juga sebagai suku Anak Dalam, adalah salah satu suku yang menempati seluruh kecamatan di kabupaten Musi Banyuasin, yaitu di kecamatan Babat Toman, kecamatan Bayung Lencir, kecamatan Sungai Lilin dan kecamatan Banyuasin Dua dan kecamatan Banyuasin Tiga. Pemukiman mereka berada pada dataran rendah yang banyak ditemui rawa-rawa dan berada di daerah beberapa aliran sungai cabang dari sungai Musi.


Masyarakat suku Banyuasin sebagian besar masih percaya terhadap berbagai takhyul, tempat keramat dan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Beberapa kelompok dari mereka masih menjalani upacara yang berhubungan dengan dunia mistis dan menjalankan pantangan adat.
Saat ini sebagian dari mereka telah memeluk agama Islam dan juga agama Kristen, sedangkan sebagian lain masih mempertahankan kepercayaan asli mereka.

Suku Banyuasin ini, sepertinya agak dilupakan oleh pemerintah daerah setempat, karena beberapa perkampungan atau pemukiman mereka, masih sangat jauh dari tingkat sejahtera. Kehidupan yang sangat miskin mereka alami, dengan tiadanya sarana kesehatan maupun pendidikan.


Salah satu adat-istiadat suku Banyuasin yang menarik, yaitu suatu upacara pengobatan dengan menggunakan tari-tarian tradisional yang diberi nama Tari Basalek. Tari ini dilaksanakan untuk memberikan pengobatan pada anggota suku yang menderita sakit. Tarian ini dilakukan pada malam hari dan kadang-kadang bisa dilakukan sepanjang malam sampai pagi. Penarinya biasanya terdiri dari 7 orang dan merupakan gabungan laki-laki dan perempuan. Penari dengan menggunakan pakaian tradisional biasanya mengelilingi api unggun dekat dengan ramuan sesaji. Ramuan sejaji, terdiri dari bahan rempah-rempah seperti punjung, daging ayam yang telah dipanggang dan berbagai macam bunga. Anggota suku yang sakit ditempatkan di dekat sesaji dan para penari terus berkeliling sambil membaca mantra.


Mereka mendiami kawasan Taman Nasional Bukit 12 di Jambi, Riau dan sebagian Sumatera Selatan. Di mata Suku Anak Dalam, hutan adalah segalanya, yang menjadi sumber kehidupan, den tempat mereka berlindung serta mencari makan. Beberapa kelompok suku Banyuasin ini, sebenarnya telah ada yang telah direlokasikan pada suatu tempat, dan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Kelompok yang telah direlokasi ini bermata pencaharian pada bidang pertanian, seperti bertani di sawah dan ladang.


Kegiatan lain yang tetap dilakukan oleh masyarakat suku Banyuasin ini, adalah berburu di hutan, seperti berburu babi hutan, rusa dan binatang apapun yang ditemukan di hutan, serta mencari rotan dan menangkap ikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar