5 Nov 2013

Sejarah Pulau Flores

Suku Rongga dalam sejarah Manggarai hampir tak pernah diperbincangkan. Bahkan banyak buku-buku sejarah tentang Manggarai menyamakan begitu saja wilayah kedaulatan suku ini dengan kerajaan Tanah Dena. Meski luput dari perhatian dan publikasi yang luas, ternyata hal itu tidak menenggelamkan begitu saja antusiasme orang Rongga dalam mengungkapkan jati diri, baik dari sisi sejarah, orisinalitas kebudayaan maupun kesenian, serta kedaulatan wilayanya di masa lalu.

Sejauh ini belum ada penelitian serius tentang sejarah dan asal usul orang Rongga di wilayah Manggarai Timur, Flores, NTT. Suku yang mendiami wilayah Selatan Manggarai Timur ini, di samping unik dari sisi bahasa, juga memiliki sejarah kebesaran peradabannya tersendiri. Wilayahnya tidak saja mencakup Kisol dan Waelengga, tetapi meliputi sebagian dari luas kecamatan Kota Komba dan kecamatan Borong. Wilayah kedaualatan suku ini di sebelah Timur berbatasan dengan Wae Mokel dan di bagian Barat berbatasan dengan Wae Musur (Sita). Sementara di utara berbatasan dengan suku Mendang Riwu, Suku Manus, dan Suku Gunung.

Sebelum kerajaan Todo mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur, daerah ini sudah dikuasai orang Rongga selama berabad-abad. Kedatangan suku Keo dari Selatan Barat Laut tidak serta mereta menggeser peran sentral orang Rongga di wilayah ini. Sekitar abad ke-12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Rongga dibawa pimpinan suku Motu Poso mengusir sejumlah orang Keo yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu berhasil mengusir pulang orang Keo. Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat, Melo, wilayah kecil yang berbatasan dengan dengan Iteng, Manggarai Tengah.


Suku Keo yang mendiami wilayah Melo kemudian mengadakan kontak dengan suku Todo dan mengklaim wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaannya sehingga dengan mudah pula Todo menamakan wilayah ini dengan nama Kerjaan Adak Tanah Dena. Padahal secara de facto Keo hanya sekadar numpang tinggal di wilayah itu. Nafsu ekspansi Todo serta ulah orang Keo yang tidak berkenan di hadapan adat istiadat Manggarai menyebabkan Todo mengusir suku ini. Serangngan Todo terhadap Keo di wilayah Melo membuat suku ini terdesak.


Ekspansi Todo sekitar abad 18 itu, tak akan berjalan lancar bila saja tidak didukung suku Rongga yang sudah begitu anti pati pada Keo. Strategi perkawinan yang dilakukan Toda dengan suku Rongga semakin membuka jalan bagi Todo melebarkan kekuasaannya di wilayah ini. Dalam kisah lisan yang berkembang di Tanah Rongga, konon, mula-mula Todo memberi gadis bernama Dhari kepada Tuan Tanah yang menguasai wilayah Rongga Barat (Rongga Ma’bah). Setelah ikatan kekerabatan mulai terjalin akrab, Todo menyewa salah satu suku kecil di Rongga Ma’bha untuk mewujudkan rencana besarnya menaklukkan Komba, Rongga Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rongga Ruju. Strategi itu berjalan mulus.


Upaya Todo mengembangkan wilayahnya hingga Watu Jaji pun berjalan lancar karena mendapat bantuan suku Rongga, yang sudah memahami karakter dan topografi wilayah Ngada. Namun, dalam kisah penaklukkan Todo terhadap Ngada hingga Watu Jaji nyaris tak pernah diungkapkan peran dua pahlawan Rongga Nai Pati dan Jawa Tu’u. Dua sosok ini konon menjadi tokoh sentral yang berperan memperkuat pasukan Todo menaklukkan Cibal.


Upaya Todo menanamkan pengaruhnya di wilayah Manggarai dengan membentuk pemerintahan kedaluan yang kemudian berlanjut dengan UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa membuat pemerintahan adat di wilayah Manggarai tergeser. Perubahan itu ternyata diikuti dengan proses penaklukan budaya ke wilayah Rongga. Setidaknya hal itu tampak terasa dalam beberapa ikon budaya Rongga yang terancam punah, seperti pakaian adat Rongga, aksen penyebutan nama beberapa tempat yang berubah, seperti Mboro menjadi Borong, Tanah Rongga menjadi Golo Mongkok, dll. Hampir seratus tahun orang Rongga tak sadar kehilangan identitas budayanya.


Salah satu yang masih bertahan hingga saat ini adalah tarian Vera. Tarian ini adalah warisan yang tidak kita temukan dalam kebudayaan Manggarai maupun Flores umumnya. Gerakannya yang khas serta pertunjukkannya yang hanya berlangsung secara aksidental membuat generasi masa kini tidak banyak lagi yang berupaya menekuninya. Serbuan berbagai budaya populer membuat tradisi Vera kian memudar di kalangan generasi muda Rongga.


Kehilangan beberapa simbol budaya Rongga tentu juga dilatari kebijakan pemerintah daerah Manggarai selama beberapa decade yang terkesan menyeragamkan begitu saja kearifan dan keunikan budaya lokal yang berada di wilayahnya ke dalam satu budaya bernama Manggarai. Pengalaman sejarah ini bagi orang Rongga adalah suatu yang cukup pahit untuk dikenang. Apalagi saat itu, Gereja yang nota bene mendapat tanah gratis untuk mendirikan Seminari di Kisol tak memiliki perhatian apapun untuk perkembangan kebudayaan budaya Rongga. Wajar saja bila masyarakat Rongga menjadi terbelakang bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Manggarai Timur.




Terpinggirnya kebudayaan Rongga menjadi kian parah karena ketiadaan kamu terdidik dari kalangan Rongga yang mencapai bangku pendidikan tinggi. Bayangkan saja pada tahun 70-an hanya ada satu orang Rongga yang berhasil menyandang gelar Sarjana. Tahun 80-an hanya berkisar sekitar lima hingga sepuluh orang sarjana. Perode 90-an hingga kini mulai bermunculan Sarjana-Sarjana orang Rongga.


Seiring dengan kebangkitan pendidikan di kalangan orang Rongga, ada sebuah kegelisahan yang terus mengusik sejumlah kaum terdidik Rongga untuk mengungkapkan identitas sejarah dan kebudayaannya. Kegelisahan itu mendorong saya secara pribadi untuk mengadakan penelitian kecil mengenai sejarah, budaya dan kesenian Rongga. Penelitian awal saya lebih mempertanyakan asal usul dan sejarah Rongga, selanjutnya perbedaan budaya dan kesenian yang ada antara orang Rongga dengan Manggarai maupun Ngada.


Banyak temuan yang cukup mencengangkan, di antaranya tentang peradaban Rongga yang tersisa sejak zaman batu, situs-situs peninggalan perang, maupun filsafatnya yang cukup kokoh sebagai pegangan hidup orang Rongga zaman dulu. Saya begitu kagum dengan peradaban suku yang satu ini. Penelitian kecil ini memang jauh dari proyek dokumentasi budaya yang ideal karena tak akan ditemukan pemamparan mengenai temuan arkelogis dan temuan-temuan lain nya. Namun saya yakin proyek kecil ini akan menjadi pembuka dialog sekaligus pancingan bagi atropog untuk menelusuri jejak kebudayan Rongga. Untuk melengkapi bahan peneleitian ini.



Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis “Copa de Flores” yang berarti “ Tanjung Bunga”. Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.


Sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masingmasing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:


- Etnis Manggarai - Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen);


- Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue,       Ende dan Lio);


- Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);


- Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);


- Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).


Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.


Masyarakat Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo’o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya.

Manggarai (termasuk Manggarai Barat) Sampai Abad XIX



Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya.


Cina

Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.

Jawa

Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.

Bugis, Makasar, Bima.

Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.
Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal. Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano.

Kesultanan Goa dan Bima,
Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.

Belanda.

Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.

Penyebaran agama Islam

Pada abad ke-16, Belanda berekspansi ke Flores Barat untuk menguasai Manggarai. Penguasaan Manggarai tidak dilakukan secara langsung oleh Belanda, tetapi melalui Kerajaan Goa yang berkedudukan di Makasar. Jadi, Manggarai di bawah kekuasaan Kerajaan Goa. Saat itu orang orang Sulawesi memang telah memeluk agama Islam. Kehadiran Kerajaan Goa di Manggarai tidak menyebarkan agama. Kerajaan Goa hanya menjalankan pemerintahan yang digariskan Belanda. Meski demikian, secara kultural, simbol-simbol islamik dan doa-doa tradisional, khususnya, banyak dipengaruhi tradisi islamik Goa dan Bima. Ada beberapa istilah yang sama antara orang Sulawesi, Bima, dan Manggarai, atau kemungkinan istilah itu berasal dari bahasa Makasar-Bugis, seperti kraeng sebagai gelar bangsawan di wilayah Kerajaan Goa. Istilah itu digunakan pula untuk gelar bangsawan di Manggarai sampai sekarang. Mori, sengaji yang berarti Tuhan dalam bahasa Goa, juga mengandung arti yang sama di Manggarai. Kata kreba (kabar), rodong (sejenis kerudung yang hanya dipakai wanita), sa dako (sedikit atau segenggam), sebuah istilah yang biasa merujuk pada perilaku adil terhadap sesama. Selain itu, dikenal pula simbol-simbol dalam cara berpakaian. Orang Manggarai, terutama kaum pria, hanya merasa sah atau percaya diri, jika ia mengenakan peci hitam. Peci dan sarung sebagai pakaian resmi yang biasa digunakan dalam penampilanpesta atau acara ritual, termasuk mengikuti ritual misa di gereja. Cara berpakaian dan jenis pakaian seperti menjadi lambang kemanggaraian. Dari ciri kultural tersebut, orang Manggarai lebih dekat dengan Sape dan Bima di Nusa Tenggara Barat ketimbang suku bangsa Ngada, atau Ende, atau suku bangsa lain di Flores. Ditemukan pula gejala parabahasa untuk berdoa secara islamik.

Penyebaran agama Katholik Roma.

Kristianitas, khususnya Katholik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat Kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores (termasuk ke daerah Manggarai dan Manggarai Barat) dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katholik. Penyebaran ini banyak dilakukan melalui peningkatan pendidikan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar