10 Jul 2013

Sejarah kota Padang

Terdapat 2 buah versi mengenai sejarah berdirinya kota Padang, yaitu: versi Tambo dan versi Hofman seorang opperkoopman di Padang pada tahun 1710 dan juga pengarang mengenai adat dan sejarah Minangkabau (terutama adat matrilineal). Opperkoopman sebutan pada wakil Belanda untuk suatu daerah yang belum ditaklukkan Belanda. Kota Padang belum ditaklukkan saat itu sedangkan untuk daerah jajahan Belanda seperti Ambon, Banda, Ternate dan Jawa penguasanya dinamakan Gubernur.


Kota Padang menurut HOFMAN, dinamakan Padang karena dulu merupakan lapangan besar dan luas yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi.

Pada awalnya tempat bermukim para penangkap ikan, pedagang dan petani garam yang dikepalai oleh seorang makhudun. Orang kedua yang menjadi kepala adalah dari golongan agama dari Passai yang bergelar Sangguno Dirajo.


Suatu saat terjadi peperangan antara orang padang dengan orang pegunungan dari XIII-Koto karena terbunuhnya Serpajaya oleh anak buah makhudun yang bernama Campang Cina. Dalam serbuannya yang pertama orang-orang dari XIII-Koto dapat dikalahkan dengan korban sebanyak 30 orang.

Karena takut akan serangan besar berikutnya, orang Padang mengirim utusan untuk berdamai yang bernama Datuk Bandaro Pagagar bersama wakil rakyat kota Padang. Ganti rugi yang diminta orang XIII-Koto adalah emas. Orang Padang keberatan dengan ganti rugi ini karena terlalu mahal dan mereka kebanyakan adalah nelayan.

Oleh karena itu ditawarkan separuh kota Padang dan bersumpah setia untuk tunduk kepada XIII-Koto, sejak saat itu orang XIII-Koto memiliki hak yang sama dengan orang Padang dan mendapat 4 dari 8 kursi penghulu di kota Padang.

Menurut versi TAMBO, jauh sebelum orang pegunungan mendiami kota Padang sekarang, daerah itu merupakan hutan lebat yang masih didiami oleh manusia liar (urang rupit dan urang tirau).
Orang pertama yang turun ke Padang adalah dari Kubuang Tigo Baleh (Solok) yang dipimpin oleh Maharajo Besar suku Caniago Mandaliko dan memilih tinggal di Binuang dan kemudian menyebar diantara Muaro sampai Ikua Anduriang (Pauh IX).

Kelompok kedua yang datang adalah orang dari Siamek Baleh (antara Singkarak dan Solok) dan disusul dengan orang dari Kurai Banuampu (Agam). Mereka menetap dibagian timur daerah Maharajo Besar.

Diantara pemimpin yang baru datang ini adalah Datuk Paduko Amat dari suku Caniago Simagek, Datuk Saripado Marajo dari suku Caniago Mandaliko, Datuk Sangguno Dirajo dari suku Koto beserta saudaranya Datuk Patih Karsani. Konon Datuk Patih Karsani ditempat yang baru banyak mendapat benda berharga seperti porselen, pisau, meriam kecil dan sebuah pedang (padang). Maka menurut yang mempunyai cerita dinamakanlah kota itu Kota Padang.

Pada abad ke–14 (1340-1375) Kota Padang dikenal berupa kampung nelayan dengan sebutanKampung Batung dengan sistem pemerintahan Nagari yang diperintah oleh Penghulu Delapan Suku.
Pada tahun 1667 VOC lewat penghulu terkemuka "Orang Kayo Kaciak" dapat izin mendirikan Loji pertama. Daerah Batang Arau dijadikan sebagai daerah pelabuhan, yang merupakan titik awal pertumbuhan kota Padang. Kota Padang tidak hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan tapi juga kota perdagangan. Pelabuhan tersebut terkenal dengan nama Pelabuhan Muaro.

Pada 7 Agustus 1669 merupakan puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda. Loji-loji Belanda di Muaro, Padang berhasil dikuasai. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.

Pada 31 Desember 1799 seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen.

Pada 1 Maret 1906 lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.
Pada 9 Maret 1950, Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang. Pada 29 Mei 1958. Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan No. 1/g/PD/1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.

Tahun 1975 secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota.

Kota Padang adalah salah satu Kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut sumber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.
Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.
Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada Tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.
Selanjutnya :

7 Agustus 1669
Puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.


20 Mei 1784
Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur.


31 Desember 1799.
Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen.

1 Maret 1906.
Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.

9 Maret 1950.
Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950.

15 Agustus 1950.
SK. Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang.

29 Mei 1958.
SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.

Tahun 1975
Secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota.*

Pada awalnya luas Kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 193 Kelurahan. Dengan dicanangkannya pelaksanaan otonomi daerah sejak Tanggal 1 Januari 2001, maka wilayah administratif Kota Padang dibagi dalam 11 Kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan Maka jumlah Kelurahan di Kota Padang menjadi 104 Kelurahan.

Wilayah Kota Padang
Kota Padang merupakan Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera dan berada antara 00 44’ 00” dan 10 08’ 35” Lintang Selatan serta antara 1000 05’ 05” dan 1000 34’09” Bujur Timur. Menurut PP No. 17 Tahun 1980, luas kota padang adalah 649,96 km2 atau setara dengan 1.65 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat. Secara administrasi, Kota Padang memiliki 11 Kecamatan yaitu : Kec. Bungus Teluk Kabung, Kec. Lubuk Kilangan, Kec. Lubuk Begalung, Kec. Padang Selatan, Kec. Padang Timur, Kec. Padang Barat, Kec. Utara, Kec. Nanggalo, Kec.Kuranji, Kec. Pauh, Kec. Koto Tangah, dengan 104 kelurahan dan kecamatan terluas adalah Koto Tangah yang mencapai 232,25 km2
Ketinggian wilayah daratan Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara 0-1853 m di atas permukaan laut dan daerah tertinngi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan. Kota Padang memiliki banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil, dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km.
Kota Padang yang membujur dari Utara ke Selatan memiliki pantai sepanjang 68,126 km dan terdapat deretan Bukit Barisan, dengan panjang daerah bukit (termasuk sungai) 486,209 km2. Perpaduan kedua letak tersebut menjadikan Kota Padang memiliki alam yang sangat indah dan menarik. Batas-batas wilayah Kota Padang sebagai berikut.
§ Sebelah Utara : Kabupaten Padang Pariaman
§ Sebelah Selatan : Kabupaten Pesisir Selatan
§ Sebelah Timur : Kabupaten Solok
§ Sebelah Barat : Samudera Hindia
Disamping memiliki wilayah daratan, Kota Padang juga memiliki perairan yang dihiasi oleh 19 pulau kecil yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Padang. Kasembilan belas (19) pulau tersebut tersebar pada kecamatan Kota Padang. Dari 19 buah pulau kecil tersebut, terdapat 2 pulau yang telah dikelola dengan baik untuk pariwisata, seperti Pulau Sikuai dan Pulau Pasumpahan dan pulau-pulau lainnya.



Kota Padang merupakan salah satu kota tertua di pantai barat Lautan Hindia. Hari jadi Kota Padang telah ditetapkan oleh Pemerintah pada tanggal 7 Agustus 1669. Penetapan ini sesuai dengan Momen penyerbuan yang heroik oleh para pejuang ke Loji Belanda di Muara Padang ketika itu hingga loji tersebut hangus terbakar.
Sesuai sejarah pada awal nya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam, dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minangkabau lebih mengarah ke pantai timur, melalui sungai-sungai besar yang berpangkal dari Gunung Merapi, tempat pemukiman mereka. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Malaka, Kerajaan Aceh, serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.
Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman, dan Indrapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Kerajaan Pagarruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, buah pala, dan emas.
Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena mempunyai Muara yang bagus dan cukup besar serta udara yang nyaman. Pada tahun l660 Belanda berhasil secara halus memaksakan kehendaknya lewat perjanjian dengan raja-raja muda tersebut untuk mengusir Aceh dari Muara Padang yang mulai lemah sejak kematian Sultan Iskandar Muda. Belanda bahkan diizinkan membuat kantor dagangnya di Padang. Mata uang Belanda digunakan pula sebagai alat tukar yang sah. Dilain pihak, orang Aceh yang mulai terdesak menyingkir ke pedalaman. Pada tahun 1667 Belanda membuat loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi, kemudian daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan. Daerah pinggir utara Batang Arau kian lama kian ramai oleh kantor, gudang, dan pemukiman. Selanjutnya Belandamembuat daerah pemisah antara pemukiman mereka dengan rakyat. Belanda menempati Muara bertetangga dengan suku China, kemudian Keling, baru terakhir penduduk asli.
Dalam rentetan sejarah selanjutnya walaupun tidak mudah, Belanda berhasil menguasai daerah ini melalui politik devide et impera–nya (adu domba) terhadap raja raja muda tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1784 Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Kemudian Kota Padang semakin ramai saja setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur, fabrik Semen ( Padang), Tambang Batu Bara ( Sawahlunto), dan dibangunnya jaringan kereta api.
Berbeda dengan Belanda yang meninggalkan bekas penjajahan dalam bentuk bangunan kolonial, kehadiran Aceh di Kota Padang justru melahirkan budaya Urang Padang yang agak khas di tengah Masyarakat Minangkabau lainnya. Bentuk rumah adat tradisi Padang lebih mirip dengan rumah tradisional Aceh sehingga disebut dengan nama Rumah Gadang Serambi Aceh. Pengaruhnya lainnya terlihat pula pada atribut pakaian pengantin, gelar adat seperti Marah, Sutan yang nyaris tidak dikenal di pedalaman Minangkabau. Namun akibat urbanisasi orang Minangkabau dari segala pelosok ke Kota Padang, nuansa ke Minangkabauannya tetap dapat dirasakannya meskipun bentuknya lebih modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar